Tampilkan postingan dengan label Tears Drop. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tears Drop. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Maret 2019

Si Pemilik Topi Putih Tua



Sini, duduklah dekat-dekat
Hari ini kuceritakan padamu tentang dia,
Seorang pria yang pernah tinggal dan baru saja berlalu pergi.
Dia yang sejak dulu kuperjuangkan senyumnya. Dan kujaga tapak langkahnya.
Sebagaimana dia dulu menjagaku, meskpun dengan diamnya.

Sini duduklah dekat-dekat
Ambillah barang beberapa bongkah batu yang sedari tadi menghimpit hatiku
Membuat nafasku sesak dan mataku lalu sembap.
Karena pria yang kuceritakan tadi rupanya benar-benar pergi.
Tak bisa kulihat lagi kerutan mata karena senyumnya.

Pria tua yang selalu memakai topi putih.
Kemanapun dia melangkah, Apapun setelannya.
Topi itu tak pernah lupa
Oh ya, dan sepeda ontel kesayangannya, yang tak pernah berhasil kukendarai.

Ingatanku tentangnya, lamat-lamat mulai memudar,

Tentang dongeng-dongeng di malam hujan. Dengan bahasa ibunya yang sebenarnya jarang bisa kupahami. Tapi aku bertahan, karena dulu rupanya kelambu tua yang dipasangnya sangat menarik hati. Seperti bermain kemah-kemahan kala itu.

Tentang rotan dan lidi yang disesahkan ke kakiku. Dari situ aku belajar bertutur hormat dan sopan.

Tentang hardikan keras dan pelototan tajam matanya, mengajarkanku tentang harga diri seorang wanita yang berulang kali diingatkannya harus kupegang teguh sepanjang usia.

Tentang malam-malam dia menyetrikakan seragam sekolahku dan menungguku pulang kuliah. Dan senyum bangganya ketika melihatku menggunakan toga.

Aku menuliskan ini tentangnya, agar aku tak lupa. Kesayangku yang kujaga sepanjang usia.
Yang katanya, aku cucu kebanggannya.
Terima kasih, untuk pernah singgah...





Sabtu, 21 September 2013

Dua puluh satu



Malam ini, resmi menjadi malam ke dua puluh satu ketika aku mulai merindukanmu.
Minggu ketiga.
Jam ke lima ratus empat.

Kamu, apa kabarnya disana?
Masihkah menyimpan rasa yang ku titipkan hari kemarin?
Seperti ketika aku menguraikan rindu yang kau kirimkan lewat hujan sore ini.

Kemana kita harus pergi?
Membawa-bawa belanga, menampung hujan di ujung jalan.
Menadah bahagia yang dulu pernah sama-sama kita kejar ke ujung dunia.
Sekarang, ketika rupanya jalannya putus arah.
Jembatan rupanya tak cukup mengantung egoisme dan gengsi beratasnama keluarga.
Lalu kau dan aku berdiri di dua kutub yang berbeda.

Dua puluh satu.
Dan mungkin aku harus berhenti.
Karena waktu mulai membawaku berlari.
23.45
Lima belas menit lagi, dan angka akan membawaku pada hitungan ke dua puluh dua.
Ceritanya sudah lama berlalu.
Epilognya sudah selesai dibacakan.
Berakhir pada hitungan ke dua puluh satu.

-----------

23.47





Minggu, 08 September 2013

Unfinished

Kepada dia,
Yang selalu namanya tak terlupa dalam setiap doa

Kau... apa kabar?
Kali ini kita berdiri pada dua sisi yang saling berjauhan
Kau pada jalanmu.
Aku pada jalanku.
Sejak kapan dunia berputar pada poros yang salah?
Atau sejak dulu, matahari memang salah terbit?
Hanya saja, sekarang mereka insaf.
Sehingga hanya kita yang merasa salah?
Limbung lalu hilang arah.

Apa yang akan kau lakukan setelah ini?
Kau punya rencana?
Baik-baikkah hidupmu disana?

Aku kembali pada titik awal.
Titik sebelum aku mulai melangkah.
Mungkin aku masih ingin menjajal jogja.
Sendirian.
Seperti mimpiku dulu.
Menjual kenangan. Mencari bahagia.

Mungkin pada satu waktu, kita akan kembali bertemu.
Dan aku akan menceritakan padamu mimpi-mimpiku yang sudah lunas kubayar.
Dan kau akan bercerita tentang mimpimu kepadaku.
Mimpi, yang tidak akan terbayar jika kita berjalan pada satu arah.
Cerita, yang lebih baik kita tinggalkan separuh jalan,
ketika masih tertulis bahagia.
Daripada kita paksa selesaikan, dan hilang bahagia pada akhirnya.

Dari saya,
Yang masih menjadi yang paling bangga atas semua pencapaian-pencapaian dan mimpimu,

Senin, 19 Agustus 2013

Ferita


Jika katanya hidup ini adalah sebuah roda, maka mungkin saya sedang tersangkut ditengah-tengah porosnya saat ini.
Tidak naik, tidak turun.
Hanya berputar di tempat yang disitu-situ saja.
Dipusingkan oleh hal yang begitu-begitu saja.
Kuatir karena orang yang itu-itu saja.
Stuck. Kata orang jawa.

Rasanya seperti ingin sembunyi di dalam lemari,
Dan keluar ketika permasalahan sudah selesai.
Lalu kemudian saya di cap sebagai orang yang kurang dewasa.
Lari dari masalah.

Saya cuma ingin merasa bebas. Tidak lagi ingin terikat.
Karena disini udara hampir habis. Sesak.
Karena jika saya tetap tinggal, saya tau saya akan mati.
Lalu saya dibilang tidak bertanggung jawab.
Karena perasaan bukan mainan.
Yang dimainkan jika suka. Yang ditinggal bila bosan.
Tercampak di sudut ruangan.
Kemudian menjadi penghuni tetap gudang.
 

Katanya dadu sudah di lempar.
Angkanya sudah keluar.
Maka bidaknya harus saya jalankan. Meskipun saya tidak suka.
Karena dulu saya yang meminta bergabung.
Lalu kenapa sekarang saya berkabung? tanyaku.
Ah ya, karena saya harus tetap tinggal. Meskipun mati.
Kalian puas?
Ya.

Sejak kapan saya tidak mempunyai pilihan?
Tersesat dalam dunia yang bahkan tidak saya kenal.
Terikat dengan rantai komitment dan janji yang dulu saya belitkan sendiri karena obsesi.
Sekarang kau menyesal? tanyamu.
Tidak.
Hanya tidak bahagia.
Apakah bahkan itu lebih parah?
Tidak ada rasa.
Tidak menyesal.
Tidak juga bahagia.

Jadi bagaimana kita harus menjalaninya.
Karena dulu kita yang memulai.
Meskipun sekarang saya yang ingin pergi.
Kau memilih tetap tinggal?
Lalu apakah saya harus ikut tinggal?
Seperti orang mati yang tanpa rasa.
Tinggal hanya karena sebuah logika.
Tinggal hanya karena kau yang minta.


Kau sakit?
Aku sakit.
Hampir mati disini.
Bisakah kita tinggalkan saja?
Bolehkan?

 









Untuk sebuah kata maaf yang mungkin sangat terlambat,


Selasa, 30 April 2013

[bukan] CINTA ?


Dear,
Setau saya, cinta itu tidak membuat sakit.
Cinta itu tidak membuat kita saling tertekan, hanya karena kita masih memaksa bertahan, karena kita tidak berani mengambil keputusan, takut salah jalan.
Cinta yang saya kenal dulu, adalah cinta yang membuat saya bahagia. Tak peduli seberapa lelahnya saya.
Cinta yang saya tau itu, tidak pernah memaksa saya berubah menjadi seseorang yang bukan saya.

Dear,
Untuk mencintai kamu, saya sudah berubah menjadi seseorang yang tidak saya kenal.
Selama ini saya selalu meyakinkan diri saya untuk bersikap baik, untuk menjadi orang yang pengertian dan sabar, toleransi saya sudah seperti karet, saya ulur selebar-lebarnya.
Sampai akhirnya semua itu berbalik, seperti bumerang, menyakiti diri saya sendiri.

Dear,
Saya hanya ingin kembali menjadi saya yang dulu.
Saya yang bebas dan memiliki semua hal yang bisa membuat kepala saya tetap tegak berdiri, namanya harga diri.
Dan dengan kamu, semua itu hilang tertelan rasa toleransi saya yang saya berikan dalam dosis sangat tinggi, hanya karena apa yang dulu kita sebut cinta. Dan sekarang gantian saya yang sakit.

Dear,
Apa lebih baik, cinta itu saya kembalikan saja kepada pemiliknya?
Karena cinta yang kamu tawarkan dulu, sekarang dan katamu sampai selama-lamanya itu,
Saya...
tidak berniat lagi menyimpannya...






Selasa, 09 November 2010

Standing Tall



Surat terbuka untuk kamu, yang hari ini mengungsi di pondok-pondok terpal. Dengan hujan abu dan angin berdebu yang memutar-mutari tiang pancang tenda yang meneduhi kepalamu.

Surat terbuka untuk kamu, yang hari ini masih diam menunggu makanan sampai ke rumah-rumah singgah, dengan pakaian setengah basah di teras, mencari-cari ibu yang hilang diseret arus air yang datang malam tadi.

Surat terbuka untuk kamu, di barat dan timur, selatan ataupun barat daya, yang merintih meminta air, yang menangis menunggu panas.

Surat terbuka untuk kamu, si hitam, putih, kuning, abu-abu. Si kriwil, lurus, ikal, pendek, gendut, dan jangkung, yang hari ini menumpang di bantal lembap dan keras, di lantai-lantai teras rumah sakit, beringsut-ingsut agar terhindar dari hempasan air hujan yang menitik dari kanopi abu-abu.

Surat terbuka untuk kamu, yang malam ini tidur diatas selembar kardus bekas, di kursi plastik biru panjang, rela menjadi santapan nyamuk malam yang meradang kelaparan, demi seorang bapak yang tinggal ditanah berangin abu, berhutan arang.

Untuk seorang ibu, untuk seorang anak, untuk seorang kakek, untuk seorang ayah, untuk seorang oma, untuk seorang tante, untuk seorang tulang, untuk seorang bude dan untuk seorang mama.
Terima kasih untuk tetap bertahan,
Terima kasih untuk menjadi sosok panutan,
Terima kasih telah mengajarkan untuk tetap berdiri tegar.
Terima kasih untuk sebuah kata : "harus berdiri lagi"




NB : Dituliskan untuk korban gempa dan letusan gunung merapi. Turut berduka untuk keluarga bude yang ditinggalnya pergi. Akan ada seseorang yang selalu merindukan sup jagung bude.


Jumat, 27 Agustus 2010

Sekarang, tolong dengarkan saya!


Sekarang tolong dengarkan saya,
Saya tidak bisa jika harus memenuhi apapun yang kau mau setiap kali kamu mengucapkannya, karena saya bukan jin alladin yang keluar dari lampu ajaib.
Saya tidak bisa jika setiap kali harus mengatakan iya, untuk menjaga perasaanmu sementara kamu tidak.
Saya tidak bisa jika sudah harus pulang jam 6 setiap malam, karena kerjaan saya pasti akan menumpuk keesokan harinya.
Saya tidak bisa jika harus dijejali daftar tagihan yang jatuh tempo setiap malam selepas saya pulang kerja. Saya lelah.
Saya tidak bisa jika harus diam sendirian dirumah ketika kamu bahkan tidak mengingat saya diantara waktu kamu yang sedikit itu.
Saya tidak bisa jika harus menjadi perempuan yang sabar dan pengertian dan tegar dan selalu tersenyum dan apapun itu yang seharusnya dimiliki oleh cewe-cewe dewasa yang mengesankan.
Saya tidak bisa tidak menangis ketika kalian mengatakan jangan.
Saya tidak bisa mengosongkan pikira-pikiran saya dari hal-hal yang menurut kamu tidak perlu, sebelum kalian menjadi bosan dan pergi
Saya tidak bisa berhenti merasa ingin keluar dari kota ini dan meninggalkan semuanya tetapi saya tidak bisa, betapapun saya ingin.

Sekarang tolong dengarkan saya, duduklah bersama saya disini. Diam dan jangan berkata-kata.
Begitu saja sudah cukup.




Jumat, 25 Juni 2010

I'm Done.



Saya, sedang tidak ingin menulis.
Biarkan dulu saja begini.
Biarkan debu-debu menari serak mengelilingi daun-daun pintu.
Poci teh disudut ruangan itu, biarkan berkawan jelaga..
 
Saya lelah!



Jumat, 26 Maret 2010

Berhenti.

"Saya ingin tanya sama kamu, Gy," ucap Remi. "Apakah Keenan pernah meminta buku ini dari kamu?
Kugy bahkan tak bisa menemukan suaranya sendiri. Ia hanya bisa menggeleng.
"Lalu... kenapa saya harus meminta untuk bisa kamu kasih?"

Sesuatu berhasil bergerak. Menembus kebisuan dan kebekuan yang mengunci Kugy. Sebutir air mata. 


Seolah menyentuh boneka porselen, dengan teramat halus Remi menggenggam tangan kiri Kugy, tempat cincin pemberiannya melingkar. "Apakah kamu pernah meminta cincin ini dari saya?"
Butir kedua, Dan Kugy kembali menggeleng.
"Lalu...kenapa saya yang harus minta supaya kamu mau pakai ?"

Masih dengan kehalusan yang sama, kali ini Remi menarik lepas cincin di jari Kugy. Hati-hati. "Kalau ngga begini, saya akan selalu meminta kamu mencintai saya Gy. Semua yang kamu lakukan adalah karena saya meminta. Carilah orang yang ngga perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segala-galanya."

Bahu Kugy terguncang tanpa bisa ia tahan. "Tapi orang itu kan kamu...aku...aku gak pernah meminta apa-apa...tapi...tapi kamu kasih semuanya...."


"Iya Gy," Remi mengangguk sambil mengusap air mata di pipi Kugy "Kamu mungkin sudah ketemu. "Saya yang belum" Suara Remi mulai bergetar.
"Saya yang belum....."

- Perahu Kertas, Dee -



Saya, berhenti lari dari kamu.
Setelah berhari-hari saya mencoba kabur dari sebuah jawaban yang sudah saya hapal mati di otak saya berbulan-bulan lalu.
Saya berhenti mengelak, dan saya akan kembali menulis. Karena saya senang menulis, meskipun menulis membuat saya teringat pada kamu.

Saya lelah meminta.
Saya memang bukan seorang yang tegar, dan saya rasa kamu pasti tau semalam saya menangis dengan begitu hebatnya. Ya saya memang bukan nona semarangmu yang tegar. 

Tapi akhirnya saya kunjung mempunyai keberanian untuk mengutarakannya kepadamu, Mas-ku, apa yang seharusnya saya katakan berbulan-bulan sebelumnya, pertama kali kita bertemu.

Ya sudahlah....mungkin, memang bukan kamu, orang yang berdiri di samping saya, ketika saya memakai gaun pengantin berbunga biru itu nantinya  :)



Jumat, 19 Maret 2010

Au revoir


Saya, adalah penonton dari sebuah kisah yang sudah berjuta-juta detik melintas di depan mata. Seorang penonton yang duduk di deretan kursi paling depan, yang bertepuk paling kuat, yang tersenyum paling lebar,dan yang keluar paling terakhir untuk masih duduk ditempat dimana seharusnya saya beranjak bermenit-menit lalu hanya untuk merasakan efek semu dari rasa hampa dan kecewa, karena akhir dari cerita yang kamu mainkan, tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan.

Saya, mungkin adalah pengkhayal ulung kesepian yang duduk dibawah jembatan batu di sore yang jingga. memancing di sungai yang separuh kering dan mengharap boneka kayu disampingnya berubah manusia.

Berapa lama saya mengenalmu?
Berapa ratus hari? berapa juta detik?
Sampai akhirnya saya tersadar kamu bukan orang itu. Yang ditakdirkan untuk menghabiskan sisa umurmu dengan saya, sedih atau senang. sakit atau sehat. bukan kamu.

Kenyataan itu menghentak begitu keras dan saya terjatuh begitu hebat. Terhempas ke dasar jurang batu. Sakit keluhku. Tak kau dengar.
Lama saya terdiam dan akhirnya saya menemukan titik temu dari benang merah kusut yang terpintal dibawah sadarku.
Kamu ada sosok nyata yang diam-diam saya selipkan dalam hati, beserta sebuah rasa yang kutumbuhkan untuk menemanimu disana. entahlah kata mereka itu cinta. tapi apapun sebutannya bagiku itu cukuplah.
Sampai suatu hari, rasa itu bertumbuh menjadi monster rakus yang memintamu menjadi milikku. Nyata. Bukan sebuah sosok absurd yang saya angan-angankan dalam lamun.
Tapi kamu pergi.
Dan efek itu kembali muncul, akhir cerita yang menitipkan kecewa, sepi dan lagi-lagi terjatuh yang hebat.

Maka hari ini, saya ingin memberitahumu bahwa saya selesai.
Apa yang tersisa untuk saya lakukan hanyalah mempersilahkanmu kembali masuk kehati saya, berhenti menjadi pelakon dari cerita yang mengecewakan itu, dan duduklah diam dalam kotak yang saya simpan baik-baik bernama kenangan.

Dan jika suatu hari kita bertemu lagi,
ingatkan aku.....

Suatu ketika aku pernah mencintaimu.



Senin, 01 Maret 2010

.


Pernah ngga kamu ngerasa sendirian?
Saat orang-orang satu kota tumpah ruah dalam keramaian dan kamu merasa begitu kesepian di dalam?
Saat kamu ingin bercerita tapi tak satu patah kata pun yang keluar?
Saat kamu lebih memilih untuk kembali lagi ke kantor dihari yang hujan, sehabis jam kerja, hanya untuk mendapatkan tempat yang sedikit lebih tenang dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin kamu dengar?
Saat tak satupun panggilan telepon teman curhat yang diangkat?
Saat semua orang berlomba-lomba untuk tidur lebih awal ketika kamu membutuhkan sekedar teman untuk membincangkan tentang cuaca?


Jika kamu menjawab ya, maka saya tau dibelahan bumi sebelah manapun kamu, malam ini saya tidak sendirian.




20:36, Pontianak ; untuk kubikel yang hening, hujan yang luruh, dan cangkir kopi kosong yang menjadi sahabat terbaik



With Love,

Senin, 08 Februari 2010

Kalau cinta....

Mengapa bosan ?



Sabtu, 02 Januari 2010

Tentang Sebuah Janji












Hei, mana bahagia yang kau janjikan kemarin padaku?
Aku.....
berniat menagihnya hari ini.





Rabu, 09 Desember 2009

But i don't.




Aku akan pergi, kamu tau?
Aku akan pergi begitu jauh hingga nanti kamu tidak lagi bisa menemukan dimana aku ada.
Dan nanti namaku hanya akan menjadi sebuah kenangan yang lamat-lamat dibisikkan angin sore.
Bercampur dengan aroma serbuk bunga lonceng


Aku akan meninggalkanmu.
Karena cinta yang kau tawarkan kemarin, hari ini, lusa dan katamu mungkin selama-lamanya itu,
sudah melarut karena sakit yang dibawa mentari,
menghilang bersama awan yang membungkusnya dan meluruhkannya sebagai hujan.
Ya sayang, hujan.
Bukan lagi cinta.



------

Piglet : How do you spell LOVE?
Pooh : you don't spell it. You feel it


------


PS : but i don't.






Jumat, 20 November 2009

Sepertinya.....



Semenjak,
huruf-huruf itu sudah kehilangan kemagisannya untuk membujuk saya menjadi tenang...
Semenjak,
huruf-huruf itu sudah kehilangan kemampuannya untuk mengambil alih semua pemikiran saya dan menempatkannya dengan aman disudut untuk di uraikan satu persatu

Maka saya akan berhenti menulis disini.
Untuk beberapa waktu.
Karena menulis tidak lagi membuat saya merasa lebih baik.

Mungkin nanti, kita akan bertemu lagi.
Tapi tidak sekarang
Karena saya sedang lelah dan ingin bersembunyi
.........




Jumat, 30 Oktober 2009

432.000 minutes too late



Langit yang panas dan berawan seolah mengolok-olok Oktober hari ini. Ini akhir oktober, dan entah mengapa gelar bulan hujan ini malah diakhiri dengan cuaca yang panas serta awan yang putih dan tebal.
Saya sedang sangat sibuk hari ini, sebelum telepon genggam saya berbunyi tanda pesan masuk. Dan itu dari kamu by the way.

Dan selalu itu, pesan dengan bunyi yang sama. Mengharapkan saya menunggu kamu pulang, memaafkanmu, dan memulai semuanya lagi dari awal.
Entah sudah pesan keberapa, dan saya bahkan bisa melafalkan isi smsmu dengan mata tertutup bahkan menebak dimana kira-kira kamu menempatkan titik dan komanya.
Sudah keberapa kali saya bilang saya sudah memaafkanmu?
Tapi tidakkah kamu mengerti memaafkanmu bukan berarti saya ingin memulainya dari awal lagi, dengan kamu.
Saya hanya ingin diam, dan membiarkan semuanya berlalu.

Hari ini, sudah hampir 300 hari ketika saya memutuskan untuk melupakan kamu. Dan kisah kita yang tidak seperti cerita dongeng-dongeng tua.
Hari ini, sudah hampir 432.000 menit ketika saya memutuskan meninggalkanmu.
Dan epilog dari kisah yang sering kamu ceritakan padaku dulu, sudah selesai terbaca.

.....



Selasa, 27 Oktober 2009

Boleh Ngga Kalo Kamu Jangan.......


Boleh ngga kalo kamu jangan.............

-----

Entah mengapa akhir-akhir ini, kalimat diatas sepertinya sangat mudah keluar dari mulut saya. Dan saya sudah mengucapkannya beberapa kali dalam seminggu.
Meskipun saya tau, semakin saya mengucapkannya, semakin saya kecewa karenanya.

Entah mengapa saya menjadi terlalu egois belakangan ini, melarang-larang seolah saya berhak. Berkata-kata tanpa mau memikirkan perasaan orang lain.

Entah mengapa saya menjadi terlalu mellow hari ini, dan sembari menuliskan ini, saya merasa ingin menangis, dikantor. Tanpa alasan yang jelas.

Saya sangat tidak suka saya yang hari ini. Yang mellow, egois dan cengeng (oh padahal saya tidak sedang PMS, anyway)

Hanya saja, sekarang ini saya sedang tidak tau, harus bagaimana bersikap. Dan juga tidak tau, harus bagaimana agar kamu mengerti

...........






Selasa, 06 Oktober 2009

Teh Panas Tadi Malam

"Teh panas?" dahi mama saya mengernyit. "Sejak kapan?" tambahnya.
Begitulah tanggapan darinya ketika melihat cangkir kosong di meja makan pagi ini.
Selama ini saya tidak pernah menyukai minuman panas yang lain selain susu cokelat. Cokelat itu hangat, menenangkan perasaan. Tidak sama halnya dengan teh dan kopi.

Saya benci rasa kopi, meskipun saya sering berlama-lama menikmati wanginya yang khas ketika mama menyeduhnya.

Malam tadi, saya insomnia. Dan setelah terdiam beberapa jam dengan buku yang terbuka tak terbaca, akhirnya saya memutuskan untuk menyeduh teh. Duduk di dapur yang gelap dan mendengarkan musik dari gerimis yang turun mengetuk-ngetuk atap. Larut dalam pemikiran yang membawa saya semakin sulit terlelap.

Pikiran itu datang lagi.
Sudah bermalam-malam pikiran ini berputar-putar di kepala. Seperti kabut yang membentuk selaput, semakin dipikirkan, semakin resah.
Saya sudah berusaha berkorban banyak untuk kamu. Saya sudah berusaha berlari, kamu tau?
Bukan untuk saya. Untuk kamu. Tapi sepertinya itu pun tidak cukup.
Saya tidak marah, hanya sedikit resah.

Gerimisnya sudah berhenti, tehnya sudah dingin.
Dan saya tertidur di dapur. Malam tadi.




Rabu, 30 September 2009

September Rain





Sudah hampir oktober,
Dan bulan ini tak sekalipun hujan turun....








Ditulis dengan air mata yang hampir tumpah,
dan hati yang resah...
regards,

Senin, 24 Agustus 2009

Seharusnya Hujan Tak Datang



Apalah artinya aku bagimu? hanya sebaris nama di kolom yang tak terbaca, dikertas yang tertempel entah di mana, di daftar yang terlupakan.

-enno-


Pagi ini ketika aku membuka mata, kutemukan awan gelap menggelayut di sudut-sudut langit. Cemberut dan memberengut.
"Ah, akan hujan" pikirku.
Dan ketika membuka jendela, kulihat angin bertiup cepat-cepat, berlari bergegas-gegas membawa kabar kepada alam, bahwa lagi-lagi peri hujan akan datang membawa pesan dari langit, tentang rindunya pada bumi.


Aku bersenandung kecil, menghirup coklat panas dan mengigit setangkup roti dibalik jendela yang terbuka lebar, mencoba menghibur embun pagi yang lagi-lagi merasa terlalu cemburu kepada hujan.

"Aku tak terlihat. Aku hanyalah kabut tipis, jatuh pada kelopak bunga, batu-batu dingin, rumput yang layu, pagar-pagar reyot dan batu-batu nisan pekuburan. Tak seperti hujan yang dapat membuat manusia terhenti ketika ia tiba." Keluhnya panjang lebar

"Well, setidaknya kau datang menyapa setiap pagi. Dan hujan ? dia tak terlalu sering datang. Hanya kadang kala, jika langit tidak terlalu sibuk memintal awan dan sungai belum meluap terlalu tinggi." Jawabku

"Tahukah kau, bulan ini seharusnya hujan tidak turun…."


Ah..
bagaimana harus mengatakannya? mengatakan bahwa alam pernah membisikkan kepadaku, tentang cintanya kepada langit dan ribuan benang perak yang dikirimkannya sebagai lagu cinta.

Aku diam.

Embun diam.

Pagi hening.




....... dan hujanpun luruh.