Senin, 15 Juli 2013

Blank.

Going to write about something

...

.....

........ 


1 hour


.............


2 hours


...................


3 hours

"okay. Maybe next time".





Minggu, 07 Juli 2013

Random Post

pic taken from here


It feels like i'm going to pass out.
Ternyata badminton-an dengan kepala berat dan badan sedikit meriang bukanlah ide bagus.
Home alone. Dan sekarang rasanya nafas saya sesak terus-terusan.
What should i do people?

Terus ngapain juga saya ngeblog random begini,
Apakah biar saya tetep exsist jadi blogger gaul se endonesah?
*digampar pake koyo*

Sayang sekali bukan saudaraku yang super.
Tidak lain dan tidak bukan hanyalah karena saya baru nyadar saya salah minum obat.
Harusnya saya minum obat penurun panas, tapi yang ada malah saya terlanjur nelan obat buat kram perut bulanan saya.
Jadilah saya tengah malam begini sibuk googling apakah aman jika obat kram perut dan penurun panas dikonsumsi bersama-sama.

Lalu apakah saya mendengar suara tawa jauh diseberang sana?


Blogger berdedikasi,

 

Rabu, 03 Juli 2013

Di Ruang Tunggu Bandara




Not all the people in your life are meant to stay
-unknown-


Hujan turun deras sore ini. Percikannya menempias di tembok-tembok kaca. Membuatnya berkabut. Orang-orang berlalu lalang. Tak peduli satu sama lain, sibuk dengan dunianya sendiri.
Satu yang disudut kursi paling depan sedang mendengarkan lagu di ipodnya dengan mata tertutup.
Satu yang duduk di deretan kelima kursi sayap kiri sedang menyuap roti, mengganjal perut yang tidak mau diajak kompromi dengan jadwal penerbangan yang delay gila-gilaan.
Ruangan ini kelewat dingin. Dalam hati aku merutuki siapapun yang mengatur suhu ruangan ini menjadi begitu rendah. Jari-jariku mati rasa.
Aku benci hujan. Benci rintiknya yang berpacu dengan detak jarum arlojiku yang menambah gelisah. Aku benci menunggu. Apalagi menunggu ketika hujan mulai turun.

Aku selalu membenci ruang tunggu bandara. Seperti tiba-tiba kita terpisah, oleh sebuah tembok kaca. Dan kau sekonyong-konyong berdiri dalam dua dimensi yang berbeda. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Yang pergi dan yang menunggu. Seminggu, sebulan, sehari, setahun.

Sepuluh tahun yang lalu, di ruang tunggu bandara ini, kamu menggenggam tanganku. Erat. Seperti tidak mau lepas. Waktu itu aku yakin, dengan polos dan naifnya, bahwa kamu akan pulang. Suatu hari, entah pada hari apa.
Siang itu, pun hari hujan. Ingat kamu Ben?
Dan untuk pertama kalinya, saya bersyukur hujan turun. Bahwa diam-diam saya berdoa, jika hujan bisa membuatmu tinggal, maka hujanlah. Seminggu, setahun, bahkan sepuluh tahun pun jadilah.
Udara dingin yang dibawa hujan hari itu menambah sesak. Mati-matian kutahan air mata yang hampir jatuh. Aku ngga boleh nangis.
Karena Tiara adalah anak yang tegar dimata Ben. Karena Tiara tidak pernah menangis seperti anak perempuan cengeng lainnya.

"Ngga bisa ya Ben kalo kamu ngga pergi?" kataku lirih
"Ara, aku pasti pulang kok. Nanti kalau sudah lulus jadi dokter, kamu aku jemput ya?" Janjimu waktu itu. "Kamu kan tau, Ben ngga akan pernah bohong sama Ara". Tambahmu, mencoba menggombal dan gagal.
Aku diam.
Dan kemudian hujan reda.
Kali itu Ben, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika tanganku kau lepas, dan perlahan kau berjalan pergi, keluar dari tembok kaca, seperti menuju sebuah dimensi yang lain, yang tak dapat kutembus.

Hari ini Ben, kembali kita berdua duduk di ruang tunggu bandara.
Keadaan berbalik. Kali ini saya yang pergi. Menyusul dia yang berpindah ke kota lain, sebuah kesepakatan yang kusetujui beberapa bulan lalu, sebelum kami menikah.
Kau bersikeras mengantarku dan jadilah kita berdua, seperti deja vu, duduk di kursi plastik ruangan luas dan berpendingin tak kenal ampun ini. Menjadi dua pesakitan gagu. Yang meninggalkan, yang ditinggalkan. Namun kali ini dengan peran yang berbeda, masih pada sebuah rasa yang sama.
Sesak dan dingin.
Dan kemudian, hujan reda.
"Kamu benar harus pergi Ara?" Tanyamu lirih. Tanganku kau genggam erat.
Saya mencoba tersenyum dan gagal.
"Maaf Ben, kali ini, saya ngga bisa janji kalo saya bakalan pulang".

Dan sekali lagi, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika aku berjalan melewati tembok kaca.
Hari ini aku sadar Ben, bahwa kitalah yang terlalu polos kala itu. Bahwa kita terlalu naif memandang hidup, seperti dunia hanya cukup diisi dengan janji dan cinta.
Hari ini aku sadar, bahwa sebenarnya aku tak usah menunggu begitu lama untuk sebuah janji. Karena ketika pesawat udara itu membawamu pergi menembus awan, mungkin saja janji itu sudah luruh menjadi hujan. Dan seperti waktu, kamu dan aku pun akhirnya akan berlalu.

Benanda ngga akan pernah bohong sama Tiara.
Yes Ben, i agreed.
Tapi tolong ditambahkan, bahwa janji itu, mungkin saja datang ketika waktu sudah sangat terlambat.