Rabu, 25 Desember 2013

Finally Christmas


Dear Jesus
Happy birthday :)
thank you for You have guide me through my days,
I have nothing good enough to give you as a gift
So here i am, with all my bruises heart,
A little bit broken but has been well repaired,
Saying to you..
Dear God, with all my heart i do really love you.


Finally, it's christmas, people
Hang on your shocks,
Write down your wish,
Prepare the cookies and milk.
Because maybe Santa will pass by, no?
Sleep earlier,
Be good,




Senin, 18 November 2013

Air Putih





Tidak ada yang muluk dari segelas air putih
Tetapi engkau mempertanyakannya, seperti putri yang minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.
-Dee, Curhat buat sahabat-

*********

Hari ini saya mendapatkan sebuah pesan singkat. Dari seorang kawan lama, yang dulu pernah menjadi sahabat karib.
Dia akan menikah. Januari tahun depan. Begitu bunyinya.
Setelah berpacaran tujuh tahun, pernikahan akan digelar.
Saya senang, karena dia senang.
Sang calon suami, tidak begitu saya kenal, hanya tau sepintas lalu.
Lagipula, siapa yang perlu tau, peduli apa tanggapan orang jika sang empunya gelar "istri" sudah bilang cinta.
Cinta yang katanya mampu membangunkan seribu candi dalam semalam.
Cinta yang katanya mampu mengubah rasa kotoran sapi menjadi coklat cadbury.
Benarkah?

Satu ketika, saya juga pernah punya mimpi yang saya lukiskan pada kanvas yang salah.
Saya menjejakkan kaki pada tanah yang belum rata.
Dan kemudian saya terjatuh.
Jatuh yang membuat saya sadar, bahwa mimpi itu salah jika mengorbankan perasaan
Jatuh yang membuat saya sadar, bahwa mimpi itu salah jika tidak ada sukacita
Jatuh yang membuat saya sadar, bahwa selama saya bermimpi, saya telah menutup dunia saya rapat-rapat dan hanya menatap ke sebuah titik yang saya pikir dulunya ingin saya gapai.
Sebegitu fokusnya saya ingin menggapai mimpi itu sehingga pada saat saya sadar, saya menemukan bahwa saya sudah babak belur.
Bahwa mimpi yang tercapai itu tidak imbang dengan apa yang sudah saya lepaskan.

Hari ini, saya berdiri dengan kaki yang lebih mantap.
Dengan mimpi yang tidak lagi muluk-muluk.
Tidak perlu lah seribu candi dalam semalam.
Tak usah mengubah apapun menjadi coklat cadbury isi almond kesukaan saya.
Cukup sebuah cinta yang mengerti bahwa bahagia itu adalah sebuah harga mahal yang belum tentu mampu dibeli semua orang. Tidak dengan dengan kekuasaan, tidak dengan uang, tidak dengan kesombongan.
Bahwa bahagia adalah sebuah rasa yang dibeli dengan ketulusan dan penerimaan, dalam sakit sehat senang dan susah.
Sebuah cinta yang tidak muluk tapi nyata.

Dan pada suatu hari, jika saya sudah menemukannya, maka akan saya belajar menggantungkan lagi. Sebuah mimpi. Yang kali ini akan lebih dewasa. Yang kali ini akan lebih realistis.
Karena akhirnya saya paham, bahwa kebahagiaan saya, adalah tanggung jawab saya. Tidak bergantung kepada siapa-siapa.
Tidak ada yang sanggup memberikannya.
Bahwa kebahagiaan itu dicipta, bukan diminta.
Dan jika bahagia ada, maka disitulah cinta.


*****

"Suatu hari Tha, elo bakalan ketemu orang yang bener-bener jatuh cinta sama elo, jungkir balik. Surga neraka. Langit bumi. Lahir batin".

Yes jo, i will :)






Senin, 04 November 2013

Lady Rain



"Kamu inget, pertama kali kita kesini, hujan turun persis dijalan ini.
Kedua kalinya kita kesini, hujan turun lagi.
Padahal sebelum-sebelumnya aku dateng kesini, ngga pernah kehujanan.
Kamu tuh kayak pemanggil hujan, tau ngga sih"
and then, he smiled.

Rasanya seperti deja vu.
Mendengar kalimat yang sama mengulang dari bibir yang berbeda.
Lady rain.
Begitu julukan yang dulu sering kau ucapkan untuk menggodaku.
Dan untuk sepotong nama dan beberapa rintik hujan itulah hari ini aku mengingat tentangmu.
Kamu yang sekarang lamat-lamat kuingat dengan sakit hati dan benci yang menggumpal seperti racun.
Tapi hari ini, ketika kalimat itu diucapkan, atas nama kenangan,
Ku biarkan sakit hati itu meluntur tersapu hujan.
Melarut dengan debu jalan yang selama ini terbiarkan menggersang.
Mungkin belum dimaafkan,
Mungkin belum terlupakan,
Tapi hari ini, kubiarkan namamu berlalu.

"Ayo kita pulang"
"Masih hujan"
"Sebentar lagi juga hujan berhenti, ayo jalan saja"
"Yakin?"
"Percaya sama aku?"
"...ya :)"
Dan sepanjang perjalanan itu, hujan berhenti





Something about blue







He likes blue sky,
His sky was me
Then someday i realize, that i'm not his sky anymore
And i'm feeling so blue at the moment
.....


Suddenly remember this quote from Christian Simamora.
One of my favorite book. Lost it when i moved to our new house five years ago.
*Sigh*


Selasa, 29 Oktober 2013

Surat kepada Sang Ballerina





Tiara,
Pernahkah kamu merasa begitu mencintai seseorang?
Pernahkah pada suatu waktu, ada seseorang yang pernah menjadi poros duniamu?
Dan ketika harapanmu sedang membumbung tinggi,
Ketika mimpi sudah dibekukan dalam botol-botol kristal,
Tiba-tiba saja dia pergi.
Seperti uap yang menguar dari teko panas.
Mengepul, lalu melebur.

Tiara,
Saat ini aku sedang menghitung,
Satu per satu mereka yang sedang beranjak pergi,
Pergi jauh-jauh, karena duniaku sedang keruh.
Sedikit sekali yang ku temukan bersisa.
Mungkin kau salah satunya, karena itulah satu-satunya alasan aku menuliskan surat ini kepadamu.

Tiara,
Aku ingin pergi.
Rasanya seperti aku sudah siap mengepak koperku dan menyeretnya kemana pun.
Tempat dimana matahari bersinar lebih lama daripada disini yang mendung dan berangin.
Tapi lagi-lagi alasan itu memintaku untuk tinggal.
Tinggal untuk dia yang masih ingin kupanggil cinta.
Menunggu sedikit lebih lama.
Entah untuk apa.
Mungkin sebagai pembuktian, 
mungkin sebagai penantian, 
mungkin menunggu penyesalan.
Hingga akhirnya nanti rasa itu hilang,
digerus hujan kuatir dan gelisah yang bergantung resah di ujung rasa.









Selasa, 22 Oktober 2013

Merah



Menuliskan tentang dia adalah seperti menuliskan merah di ufuk senja.
Kabur tertutup jingga.
Aku mengenalnya beberapa lama.
Perempuan yang berdiri dibalik tirai jendela itu.
Perempuan dengan wajah tirus dan hati yang keras.
Yang dulu, selalu berdiri paling depan dan berteriak paling lantang.
Dan dari dulu saya adalah pengamat setianya.
Penonton yang mengamati, lalu menuliskannya.
Tentang dia.
Tentang merah.
Dulu perempuan itu seperti merah.
Menyala dan berani.

Rupanya sekarang merah itu memudar menjadi jingga.
Seperti senja
Tertutup tirai di balik jendela.
Lama saya berdiri di sudut jalan.
Menatap perempuan itu, mengharap dia menyibak tirai jendela.
Tapi dia bergeming.
Hanya merenung dan menatap jauh.
Kepada senja.
Kepada merah.
Yang kabur tertutup jingga.



Selasa, 15 Oktober 2013

Quote

Somebody once said,
"Jangan bodoh karena cinta Tha, it takes you nowhere".

There he goes, bold as said.
Dan hari ini aku belajar.
Malam ini aku mengerti.
Biar tidak lagi-lagi patah hati.












Rabu, 02 Oktober 2013

The Answer


You asking me why,
"Because you're not man enough to be my man"
I said.




The one you're not deserve to have,

Sabtu, 21 September 2013

Dua puluh satu



Malam ini, resmi menjadi malam ke dua puluh satu ketika aku mulai merindukanmu.
Minggu ketiga.
Jam ke lima ratus empat.

Kamu, apa kabarnya disana?
Masihkah menyimpan rasa yang ku titipkan hari kemarin?
Seperti ketika aku menguraikan rindu yang kau kirimkan lewat hujan sore ini.

Kemana kita harus pergi?
Membawa-bawa belanga, menampung hujan di ujung jalan.
Menadah bahagia yang dulu pernah sama-sama kita kejar ke ujung dunia.
Sekarang, ketika rupanya jalannya putus arah.
Jembatan rupanya tak cukup mengantung egoisme dan gengsi beratasnama keluarga.
Lalu kau dan aku berdiri di dua kutub yang berbeda.

Dua puluh satu.
Dan mungkin aku harus berhenti.
Karena waktu mulai membawaku berlari.
23.45
Lima belas menit lagi, dan angka akan membawaku pada hitungan ke dua puluh dua.
Ceritanya sudah lama berlalu.
Epilognya sudah selesai dibacakan.
Berakhir pada hitungan ke dua puluh satu.

-----------

23.47





Jumat, 20 September 2013

Minggu, 08 September 2013

Unfinished

Kepada dia,
Yang selalu namanya tak terlupa dalam setiap doa

Kau... apa kabar?
Kali ini kita berdiri pada dua sisi yang saling berjauhan
Kau pada jalanmu.
Aku pada jalanku.
Sejak kapan dunia berputar pada poros yang salah?
Atau sejak dulu, matahari memang salah terbit?
Hanya saja, sekarang mereka insaf.
Sehingga hanya kita yang merasa salah?
Limbung lalu hilang arah.

Apa yang akan kau lakukan setelah ini?
Kau punya rencana?
Baik-baikkah hidupmu disana?

Aku kembali pada titik awal.
Titik sebelum aku mulai melangkah.
Mungkin aku masih ingin menjajal jogja.
Sendirian.
Seperti mimpiku dulu.
Menjual kenangan. Mencari bahagia.

Mungkin pada satu waktu, kita akan kembali bertemu.
Dan aku akan menceritakan padamu mimpi-mimpiku yang sudah lunas kubayar.
Dan kau akan bercerita tentang mimpimu kepadaku.
Mimpi, yang tidak akan terbayar jika kita berjalan pada satu arah.
Cerita, yang lebih baik kita tinggalkan separuh jalan,
ketika masih tertulis bahagia.
Daripada kita paksa selesaikan, dan hilang bahagia pada akhirnya.

Dari saya,
Yang masih menjadi yang paling bangga atas semua pencapaian-pencapaian dan mimpimu,

Kamis, 05 September 2013

Sebagaimana Mestinya

Matahari berjingkat melewati hari
Ketika angin senja membisik samar
Menggegas sang camar untuk segera pulang.
Saya masih disini, tegak berdiri
Menemani debur ombak yang memukul jingga
Mengingat kamu,
Mengingat kita.
Apa yang salah dengan cinta?
Ketika kemudian dia datang dengan hati yang berbeda.
Cinta berbicara tentang tangan yang mengajariku berjalan,
Cinta berbicara tentang tawa yang mengajariku merona.
Cinta berbicara tentang hati yang mengajariku caranya mencinta.
Aku menyuruhnya diam.
Tapi dia enggan.
Kataku aku sudah memiliki kamu.
Kamu yang dengan tanganmu bisa membuatkan seribu candi dalam semalam
Kamu yang dengan hatimu bisa membuat sejuta kejaiban.
Kamu yang menjadi tempat air mataku jatuh.
Kamu yang menjadi tempat bergantung ketika dunia runtuh.
Tapi cinta hanya tertawa.
Apa yang salah dengan kita?
Ketika cinta menuding bukan lagi kita
Seperti debur ombak bulan september
Yang mengejar jingga,
Meskipun pada akhirnya
Ia selalu kembali kepada pantai yang menjadikannya rumah
Mungkin seperti ini jugalah akhirnya kita.
Hati yang berpulang sebagaimana cinta itu hilang.
Cinta yang menghilang seperti debur ombak bulan september,
Melepas pantai.
Mengejar jingga.
Lalu hilang.

--------------------


Ketapang, 5 september 2013. 
3:43
Dituliskan untuk seorang kawan, 
Maaf untuk sebuah janji yang sangat terlambat.
Kayak begini, boleh Vic?
;)



Selasa, 27 Agustus 2013

Sepotong kata maaf


Maaf...
untuk sebuah tangan yang terlepas.
Maaf...
untuk genggaman yang kini enggan berbagi hangat.
Maaf...
untuk jari-jari yang sekarang tak lagi ingin terkait.
Maaf...
untuk hanya sepotong kata maaf yang saya tau tak akan menghilang beban.
Maaf...
karena suatu kali saya pernah berkata, benar saya cinta. Sehingga menggoreskan banyak luka.

Ketapang, 27 Agustus 2013...

dituliskan untuk kamu,
yang pada satu waktu, pernah menjadi seluruh duniaku.




Senin, 19 Agustus 2013

Ferita


Jika katanya hidup ini adalah sebuah roda, maka mungkin saya sedang tersangkut ditengah-tengah porosnya saat ini.
Tidak naik, tidak turun.
Hanya berputar di tempat yang disitu-situ saja.
Dipusingkan oleh hal yang begitu-begitu saja.
Kuatir karena orang yang itu-itu saja.
Stuck. Kata orang jawa.

Rasanya seperti ingin sembunyi di dalam lemari,
Dan keluar ketika permasalahan sudah selesai.
Lalu kemudian saya di cap sebagai orang yang kurang dewasa.
Lari dari masalah.

Saya cuma ingin merasa bebas. Tidak lagi ingin terikat.
Karena disini udara hampir habis. Sesak.
Karena jika saya tetap tinggal, saya tau saya akan mati.
Lalu saya dibilang tidak bertanggung jawab.
Karena perasaan bukan mainan.
Yang dimainkan jika suka. Yang ditinggal bila bosan.
Tercampak di sudut ruangan.
Kemudian menjadi penghuni tetap gudang.
 

Katanya dadu sudah di lempar.
Angkanya sudah keluar.
Maka bidaknya harus saya jalankan. Meskipun saya tidak suka.
Karena dulu saya yang meminta bergabung.
Lalu kenapa sekarang saya berkabung? tanyaku.
Ah ya, karena saya harus tetap tinggal. Meskipun mati.
Kalian puas?
Ya.

Sejak kapan saya tidak mempunyai pilihan?
Tersesat dalam dunia yang bahkan tidak saya kenal.
Terikat dengan rantai komitment dan janji yang dulu saya belitkan sendiri karena obsesi.
Sekarang kau menyesal? tanyamu.
Tidak.
Hanya tidak bahagia.
Apakah bahkan itu lebih parah?
Tidak ada rasa.
Tidak menyesal.
Tidak juga bahagia.

Jadi bagaimana kita harus menjalaninya.
Karena dulu kita yang memulai.
Meskipun sekarang saya yang ingin pergi.
Kau memilih tetap tinggal?
Lalu apakah saya harus ikut tinggal?
Seperti orang mati yang tanpa rasa.
Tinggal hanya karena sebuah logika.
Tinggal hanya karena kau yang minta.


Kau sakit?
Aku sakit.
Hampir mati disini.
Bisakah kita tinggalkan saja?
Bolehkan?

 









Untuk sebuah kata maaf yang mungkin sangat terlambat,


Sabtu, 17 Agustus 2013

Red

.....

Karena kemerdekaan itu,
adalah hak semua bangsa

....




Happy independence day good people :)

Kamis, 15 Agustus 2013

Selapis Langit Ibu


Suatu kali seorang teman pernah berkata, diatas langit masih ada langit.
Katanya setinggi apapun kau terbang, kau tak kan bisa menyentuh langit.
Ya. Mungkin benar.

Saya, saat ini tidak tau ada berapa lapis langit itu.
Tidak tau ada berapa macam benda yang disebut orang langit.
Langit yang saya tau adalah hamparan biru yang tersebar tak kenal batas,
yang tak habis meskipun seperti hari ini, hujan luruh seharian.
Langit yang saya tau, adalah bentangan beludru hitam kelam dengan bintang jatuh sebagai hiasan paling mahal  yang pernah saya lihat ketika saya berkemah ditepi pantai singkawang yang dingin.
Langit yang seperti itu.

Sampai pada suatu waktu, ibu bilang, sayalah langitnya.

Anak ibu ada 4 orang. Saya yang nomor 2.
Yang paling mandiri adalah kakak tertua saya,
yang paling perhatian adik saya yang pertama,
yang paling cantik adik bungsu saya,
Saya, dibandingkan mereka, tidak ada apa-apanya tentu saja.

Saya mungkin adalah anak ibu yang paling apatis, cenderung autis.
Karena kata ibu, saya seperti memiliki dunia lain yang tak bisa ditembus olehnya.
Saya cenderung melakukan semuanya sendiri tanpa ibu, meskipun saya bukan orang yang mandiri.
Dan pada tahun ke 23 hidup saya, sayalah anak pertama yang meninggalkannya merantau ke kota antah berantah ini.
Meskipun begitu, saya ingat hari itu, minggu pertama bulan mei, malam pertama saya pulang dengan cuti pas-pasan.
Ketika saya duduk berdua dengannya di teras, dia bilang sayalah langitnya.
Bahwa meskipun saya begitu acuh dan memiliki dunia saya sendiri tanpanya, tapi ketika setiap malam dia masih bisa mendengar saya memanggilnya mama lewat saluran telepon yang putus sambung ala kadarnya, maka dunia baginya tetap utuh.

Malam ini, ketika saya terduduk sendirian menuliskan ini di meja makan kontrakan saya yang luar biasa sepi, saya meneleponnya.
Ibu saya, sedang sakit kepala.
Mengobrol sebentar telepon di tutup.
Dengan sebuah kalimat akhir yang sudah saya hapal mati di luar kepala ;
"jangan sering beli makan diluar, jangan makan indomi terus-terusan, kalau mau tidur ingat pintu dikunci rapat-rapat, jangan percaya dengan orang yang baru dikenal."
Begitu.
Seperti saya masihlah anaknya yang berumur 10 tahun yang digandengnya ke pasar sudirman untuk membeli kancing dan kain untuk menjahit.

14 tahun sudah berlalu sejak hari itu, ketika saya setia menemani ibu ke pasar untuk sekedar membeli soda kue atau kancing dan kain lem. Dan sadarlah saya bahwa saya saat ini setengah mati merindukan hari itu.
Dan sampailah saya pada suatu pengertian, yang meskipun tak pernah saya ungkapkan padanya, bahwa ibu juga adalah selapis langit saya.
Yang tanpanya saya tak pernah ada.







Senin, 15 Juli 2013

Blank.

Going to write about something

...

.....

........ 


1 hour


.............


2 hours


...................


3 hours

"okay. Maybe next time".





Minggu, 07 Juli 2013

Random Post

pic taken from here


It feels like i'm going to pass out.
Ternyata badminton-an dengan kepala berat dan badan sedikit meriang bukanlah ide bagus.
Home alone. Dan sekarang rasanya nafas saya sesak terus-terusan.
What should i do people?

Terus ngapain juga saya ngeblog random begini,
Apakah biar saya tetep exsist jadi blogger gaul se endonesah?
*digampar pake koyo*

Sayang sekali bukan saudaraku yang super.
Tidak lain dan tidak bukan hanyalah karena saya baru nyadar saya salah minum obat.
Harusnya saya minum obat penurun panas, tapi yang ada malah saya terlanjur nelan obat buat kram perut bulanan saya.
Jadilah saya tengah malam begini sibuk googling apakah aman jika obat kram perut dan penurun panas dikonsumsi bersama-sama.

Lalu apakah saya mendengar suara tawa jauh diseberang sana?


Blogger berdedikasi,

 

Rabu, 03 Juli 2013

Di Ruang Tunggu Bandara




Not all the people in your life are meant to stay
-unknown-


Hujan turun deras sore ini. Percikannya menempias di tembok-tembok kaca. Membuatnya berkabut. Orang-orang berlalu lalang. Tak peduli satu sama lain, sibuk dengan dunianya sendiri.
Satu yang disudut kursi paling depan sedang mendengarkan lagu di ipodnya dengan mata tertutup.
Satu yang duduk di deretan kelima kursi sayap kiri sedang menyuap roti, mengganjal perut yang tidak mau diajak kompromi dengan jadwal penerbangan yang delay gila-gilaan.
Ruangan ini kelewat dingin. Dalam hati aku merutuki siapapun yang mengatur suhu ruangan ini menjadi begitu rendah. Jari-jariku mati rasa.
Aku benci hujan. Benci rintiknya yang berpacu dengan detak jarum arlojiku yang menambah gelisah. Aku benci menunggu. Apalagi menunggu ketika hujan mulai turun.

Aku selalu membenci ruang tunggu bandara. Seperti tiba-tiba kita terpisah, oleh sebuah tembok kaca. Dan kau sekonyong-konyong berdiri dalam dua dimensi yang berbeda. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Yang pergi dan yang menunggu. Seminggu, sebulan, sehari, setahun.

Sepuluh tahun yang lalu, di ruang tunggu bandara ini, kamu menggenggam tanganku. Erat. Seperti tidak mau lepas. Waktu itu aku yakin, dengan polos dan naifnya, bahwa kamu akan pulang. Suatu hari, entah pada hari apa.
Siang itu, pun hari hujan. Ingat kamu Ben?
Dan untuk pertama kalinya, saya bersyukur hujan turun. Bahwa diam-diam saya berdoa, jika hujan bisa membuatmu tinggal, maka hujanlah. Seminggu, setahun, bahkan sepuluh tahun pun jadilah.
Udara dingin yang dibawa hujan hari itu menambah sesak. Mati-matian kutahan air mata yang hampir jatuh. Aku ngga boleh nangis.
Karena Tiara adalah anak yang tegar dimata Ben. Karena Tiara tidak pernah menangis seperti anak perempuan cengeng lainnya.

"Ngga bisa ya Ben kalo kamu ngga pergi?" kataku lirih
"Ara, aku pasti pulang kok. Nanti kalau sudah lulus jadi dokter, kamu aku jemput ya?" Janjimu waktu itu. "Kamu kan tau, Ben ngga akan pernah bohong sama Ara". Tambahmu, mencoba menggombal dan gagal.
Aku diam.
Dan kemudian hujan reda.
Kali itu Ben, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika tanganku kau lepas, dan perlahan kau berjalan pergi, keluar dari tembok kaca, seperti menuju sebuah dimensi yang lain, yang tak dapat kutembus.

Hari ini Ben, kembali kita berdua duduk di ruang tunggu bandara.
Keadaan berbalik. Kali ini saya yang pergi. Menyusul dia yang berpindah ke kota lain, sebuah kesepakatan yang kusetujui beberapa bulan lalu, sebelum kami menikah.
Kau bersikeras mengantarku dan jadilah kita berdua, seperti deja vu, duduk di kursi plastik ruangan luas dan berpendingin tak kenal ampun ini. Menjadi dua pesakitan gagu. Yang meninggalkan, yang ditinggalkan. Namun kali ini dengan peran yang berbeda, masih pada sebuah rasa yang sama.
Sesak dan dingin.
Dan kemudian, hujan reda.
"Kamu benar harus pergi Ara?" Tanyamu lirih. Tanganku kau genggam erat.
Saya mencoba tersenyum dan gagal.
"Maaf Ben, kali ini, saya ngga bisa janji kalo saya bakalan pulang".

Dan sekali lagi, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika aku berjalan melewati tembok kaca.
Hari ini aku sadar Ben, bahwa kitalah yang terlalu polos kala itu. Bahwa kita terlalu naif memandang hidup, seperti dunia hanya cukup diisi dengan janji dan cinta.
Hari ini aku sadar, bahwa sebenarnya aku tak usah menunggu begitu lama untuk sebuah janji. Karena ketika pesawat udara itu membawamu pergi menembus awan, mungkin saja janji itu sudah luruh menjadi hujan. Dan seperti waktu, kamu dan aku pun akhirnya akan berlalu.

Benanda ngga akan pernah bohong sama Tiara.
Yes Ben, i agreed.
Tapi tolong ditambahkan, bahwa janji itu, mungkin saja datang ketika waktu sudah sangat terlambat.






Senin, 10 Juni 2013

Maret





Ben, tahun ini sepertinya maret datang terlambat.

Rupanya, batang-batang jagung itu tumbuh belum terlalu tinggi ketika saya datang.Dan pula, tanah masih belum begitu kering. Disinilah kita bermain dulu menangkap capung dan mengejar angin.
Siapa yang sangka, hari ini saya bisa begitu merindukan hari itu.
Merindukan kamu yang selalu memarahi saya yang datang terlambat, padahal katamu, kau sudah berteriak memanggil namaku berulang kali dari atas pohon jambu di depan rumahku.
"Anak perempuan memang begitu sih, lelet. Suka terlambat". Rajukmu selalu.

Dulu, kamu pintar sekali membuatkan mahkota dari lilitan ilalang di tepi jalan. Katamu itu adalah tiara. Dan kalau kita menikah nanti, tiara itu akan kamu gantikan yang asli. Kataku aku mau yang terbuat dari giok dan batu zamrud.
"Yang besaaaaar ya Ben" pintaku.
"Ya, nanti aku belikan yang besar".
Ben, sadarkah kamu dulu kita belum lagi genap sebelas tahun? Betapa polos dan naifnya kita.

Ben, siapa yang sangka, hari ini kita kembali berdiri berhadapan.
Kamu dengan kemeja dan jas rapi. Saya, dengan gaun kembang putih dan tiara. Kali ini tiara sungguhan Ben, meskipun bukan terbuat dari giok dan batu zamrud besar. Sebuah buket mawar putih di tangan, bukan lagi ilalang.
Kamu dan aku berdiri berhadapan, pada sisi yang berseberangan, dengan hati jumpalitan.
Dan demi sepotong masa lalu yang kembali membias, saya tersenyum.

"Siapa yang sangka kamu menikah duluan. Dulu katanya kamu mau tunggu aku?" Kelakarmu.
Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum. Lidahku tiba-tiba terasa kelu.
Dulu saya memang menunggu Ben. Cukup lama. Karena katamu kau pasti pulang, ketika ayahmu dipindahkan ke kota lain dan kalian ikut-ikutan diboyong pergi.
Lalu kemudian keadaan berubah Ben, kita menjadi dewasa. Dan janjimu, kemudian hanya bisa saya simpan rapat-rapat di sudut-sudut kotak pandora saya.

"Selamat ya. Yang bahagia, hidup bahagia sampai tua. Kawan masa kecilku yang cantik" katamu. Kemudian kau jabat tanganku. Lama.

Ya. Hidup yang bahagia juga ya Ben, sampai tua. Seperti janji kita dulu.
Sayangnya kali ini, adalah hidup yang akan kita jalani sendiri-sendiri.
Bukan lagi hidup kita.
Tapi hidup saya.
Hidup kamu.

Maaf Ben,
Untuk janji yang terlewati.
Karena mungkin kali ini, waktu sudah mulai menua,
Dan janji itu sudah habis umurnya.
Atau mungkin kali ini, kamulah yang datang terlambat.




Minggu, 19 Mei 2013

Those Old Days

 


 When was the las time you thought of me?
Adele - Don't you remember

 ****

Waktu itu, beberapa tahun yang lalu, tidak-tidak.. beberapa belas tahun yang lalu, kita tidak seperti sekarang. Iya kan? kamu ingat?

Saya tau, setelah kamu membaca tulisan ini, kamu kemudian akan mengomeli saya panjang lebar, bahwa saya tidak hidup dalam realita, bahwa saya cengeng dan tidak kuat, bahwa saya mulai melupakan ajaran kamu, bahwa saya harus berdiri tegak-tegak. Tapi, sehari ini saja, dalam beberapa menit ini saja, ijinkan saya mengingatnya. Boleh kan?

Waktu itu, kita semua tinggal bersama, kamu dan saya, bukannya berlainan kota seperti sekarang.
Waktu itu kita punya gaun kembar kembang-kembang, punyamu biru, saya merah. Ingatkan? Gaun yang selalu tidak mau kau pakai, katamu brokat dan rendanya bikin gatal, tapi saya suka, seperti princess kata saya. Kamu tidak suka princess, karena katamu kau pendekar wanita.
Waktu itu jika kamu sakit, maka saya akan menangis sampai demam, sampai saya ikut-ikutan sakit, bukan karena mengkhawatirkan kamu, tapi karena saya tidak punya teman bermain. Dan jika kita sudah sakit, maka dia akan pulang lebih awal, iya kan?
Lalu dia mulai sibuk di dapur, memasakkan kita bubur, membangunkan kita malam-malam untuk minum obat, mengganti kompres.
Dulu dia tidak pernah lupa jadwal sekolah kita, pe-er yang tertunda. Dulu dia bisa apa saja. Membuat kandang marmut, mengambil bola bulutangkis yang tersangkut di atap, dan main harmonika. Dulu dia bisa memenuhi apapun permintaan kita.
Dulu dialah superheronya, dan dulu dia sayang kita, iya kan?...akui sajalah.

Waktu itu tidak ada yang saya takutkan, karena saya punya kamu, dan kita punya dia. Tapi sekarang saya takut. Terlalu banyak hal yang saya takutkan, sepertinya saya meniti jalan sendirian, dan sedikit sekali pegangan.
Sekarang kita tidak punya dia, dan kamu terlalu jauh untuk saya temui kapan saja.
Nie, hari ini bolehkan kalau saya bilang saya kangen papa?
Kamu juga kan?
........
Akui sajalah...




Selasa, 30 April 2013

[bukan] CINTA ?


Dear,
Setau saya, cinta itu tidak membuat sakit.
Cinta itu tidak membuat kita saling tertekan, hanya karena kita masih memaksa bertahan, karena kita tidak berani mengambil keputusan, takut salah jalan.
Cinta yang saya kenal dulu, adalah cinta yang membuat saya bahagia. Tak peduli seberapa lelahnya saya.
Cinta yang saya tau itu, tidak pernah memaksa saya berubah menjadi seseorang yang bukan saya.

Dear,
Untuk mencintai kamu, saya sudah berubah menjadi seseorang yang tidak saya kenal.
Selama ini saya selalu meyakinkan diri saya untuk bersikap baik, untuk menjadi orang yang pengertian dan sabar, toleransi saya sudah seperti karet, saya ulur selebar-lebarnya.
Sampai akhirnya semua itu berbalik, seperti bumerang, menyakiti diri saya sendiri.

Dear,
Saya hanya ingin kembali menjadi saya yang dulu.
Saya yang bebas dan memiliki semua hal yang bisa membuat kepala saya tetap tegak berdiri, namanya harga diri.
Dan dengan kamu, semua itu hilang tertelan rasa toleransi saya yang saya berikan dalam dosis sangat tinggi, hanya karena apa yang dulu kita sebut cinta. Dan sekarang gantian saya yang sakit.

Dear,
Apa lebih baik, cinta itu saya kembalikan saja kepada pemiliknya?
Karena cinta yang kamu tawarkan dulu, sekarang dan katamu sampai selama-lamanya itu,
Saya...
tidak berniat lagi menyimpannya...






Sabtu, 27 April 2013

!




FUCK YOU.






Jumat, 26 April 2013

Tuhan punya cerita : Teori Amanda


"Dua enem emang tanggal sial nih, kalo ada musibah, jatoh-jatohnya pasti di tanggal ini deh".

Kalimat diatas tadi hadiah dari temen saya, Amanda. Anaknya lucu, agak chubby dan hobby banget makan.
"Apa maksudnya tuh Man? jadi saya musibah donk"
"eh..eh.. hahahahaha...ngga maksud jujur ding" Amanda mesem.

Percakapan diatas dimulai pukul delapan lewat tiga puluh menit. Saya dan beberapa temen lainnya baru aja pulang dari kantor.
What a hetic day, masih dengan baju kantor lengkap, muka keringetan, rambut lepek dan muka capek meskipun cakep *teteuuup*
Hari ini tanggal 26. Tanggal keramat, semua hal buruk terjadi pada tanggal 26, begitu teori Amanda.
Tsunami, ustad Jeffry yang meninggal, kebakaran hebat di tengah kota, meninggalnya anak nasabah kami yang luar biasa humble (i'm sorry for your lost Pak Yan), dan tak tertinggal hari lahir saya.
*tsaaahhh*

Pagi ini saya terbangun oleh bunyi pesan singkat yang masuk berjejalan di handphone saya. Bangun pagi dengan limbung, saya mandi tanpa curiga.
Cuaca bagus, mood bagus. Tidak ada tanda-tanda ada bencana.
Nyampe di kantor kerjaan menumpuk, dikejar sampai gempor juga gak selesai-selesai. Jadwal test yang direncanakan akhir bulan depan dimajukan sampai pertengahan bulan. Jadilah orang-orang kantor, supervisor dan atasan sibuk wara wiri nyari info, kita dijadwalkan latihan setiap weekend sampai hari test tiba.
Sorenya setelah kerjaan hampir beres, eeehhh black out. Seluruh kota seperti kota mati, listrik padam, dimana-mana gelap. Jadilah kita yang bertitle anak kos ria semuanya pada numpuk di kantor nunggu listrik nyala.
Lama ditunggu-tunggu, chattingan masuk, temen saya punya temen, ngabarin ada kebakaran hebat di jalan protokol kota. Dan hebohlah Diana, teman sekantor saya yang notabene punya toko mas di jalan protokol tersebut. Singkat cerita pergilah kami beramai-ramai nganterin Diana buat ngecek tokonya, apakah terbakar, apakah tidak. Apakah Diana harus beli ruko baru? apakah Diana menghibahkan semua perhiasan di tokonya buat kami? dan apakah-apakah yang lainnya.
Sampai di ujung jalan masuk, kami dihentikan oleh polisi ganteng. Jalan ditutup demi keamanan. Diana separo histeris, pengen liat keadaan ruko, dan keluarganya yang tinggal disitu.
Kami berbalik haluan, nyari jalan tikus. Api berkobar hebat, mustahil untuk dipadamkan, sedangkan di deretan ruko yagn terbakar ada gudang gas LPG. Dan jika api menyebar sampai kesitu, yaahh...wasallam.
Sepanjang jalan saya mulai berdoa, "Tuhan turunkanlah hujan".

Kemudian kami berhasil mendapat info, rukonya Diana aman, histerisnya Diana yang ala-ala drama queen ngga guna, api jauhnya masih 8 ruko dari titik kebakaran. Jadilah kami semua ramai-ramai di daulat Diana untuk makan nasi goreng. Ini ceritanya habis gelap terbitlah terang.
Makan dan cerita berakhir pukul 9 lewat banyak. Saya anter Diana pulang, dan langit mulai mendung. Ditengah perjalanan, hujan turun deras, dan saya lupa membawa mantel. What a great sense of humor He has. Seolah-olah Tuhan saya sedang berkata "bukannya tadi kamu minta Saya nurunin hujan?".

Dan disinilah saya, jam 11 malam, mengetikkan setiap huruf di depan komputer dengan badan sedikit demam, listrik yang hidup-padam, kota yang sunyi dan lelah luar biasa.
For Christ's sake, today is my birthday (--")..
Haaatchhhiii...


 
But, i'm happy  *guilty* :)




Rabu, 24 April 2013

For The Sake of The Old Time




Seorang sahabat, dari pulau seberang sana mengirimkan saya sebuah hadiah ulang tahun. Ulang tahun ke 24 saya yang dengan tidak sopannya di daulat maju beberapa hari dari tanggal seharusnya oleh dia.
Yes you. Yang mengaku sedang hidup berselibat hanya karena belum dapet gacoan baru. Ciiihh.

Bungkusan saya robek, didalamnya terdapat dua buah kotak berwarna biru muda. Diatas sebuah bingkisan terdapat sebuah catatan kecil darinya "for the sake of the old time ya tha :)". Begitu bunyinya. Membuat saya tersenyum, dan kemudian berpikir.

Old time, sounds a way too long.
Berapa lama kita saling mengenal? Lima? Tujuh tahunkah?
Kurangi setahun ketika kita tiba-tiba terlalu sibuk dengan hidup kita masing-masing, dan tiba-tiba saja roda mulai berputar.
Satu persatu mereka mulai pergi, dan tinggallah kita, dan mungkin segelintir orang. Yang masih ingin tinggal untuk sekedar bertanya kabar.

Bagaimana seseorang bisa berubah begitu cepat?
Bagaimana rasa sayang bisa menguap menjadi kepulan asap, hanya karena perubahan bentuk, rasa dan rupa?
Dan bagaimana cinta bisa terlupa hanya karena perbedaan haluan?

Malam ini, saya menuliskan kalimat-kalimat ini untuk seorang sahabat. Yang untuknya saya memutuskan masih ingin tetap tinggal. For the sake, of the old times :)


 Love,


Sabtu, 20 April 2013

Homesick

 owe the pic from here

Mama, sekarang saya sedang duduk sendirian dikamar yang terasa terlalu luas ini ma, sudah jam 11 malam rupanya, dan saya sedang mengetikkan setiap huruf ini sambil memegang tissue. Mata saya sembab gara-gara flu berat, hujan turun lebat, dan saya kangen rumah.

Kamar ini kosong ma, ngga ada tas dede yang teronggok saja di depan pintu, ngga ada kemeja atau blazer saya yang digantung asal di jendela, menunggu mama pungut diiringi omelan mama yang seperti lagu indonesia raya di pagi hari. Lagu wajib, begitu kami menyebutnya.

Udara disini sangat panas, dan saya ngga bisa lagi memakai selimut kain perca yang mama hadiahkan itu. Selimut kesayangan saya, yang mama jahitkan setelah dokter ganteng itu bilang saya flu terus-terusan karena alergi dingin. Sekarang, selimut itu saya jadikan teman tidur ma, pengganti guling, pengganti mama,saya peluk begitu saja. Mungkin kalau selimut itu punya hati, saya rasa dia bakalan tersinggung berat, karena dipergunakan tidak sebagaimana mestinya.
*tsaaah saya mulai melantur ma, kalau ngomong saya memang susah fokus. Ya kan ma?*

Malam disini terlalu sepi ma, ngga ada lagi bisik-bisik adek abege yang diam-diam menelpon sama pacar abegenya. Ngga ada lagi tawa cekikikan tertahan kalau-kalau saya memergoki mama makan biskuit dan ngopi dimalam hari, padahal katanya mama mau diet.

Mama, saya kangen dimana semua masalah dapat saya lupakan hanya dengan menangis berjam-jam di meja dapur, ditemani secangkir teh jahe buatan mama yang hampir tidak pernah disentuh karena saya duluan jatuh tertidur.
Saya kangen wangi minyak kayu putih yang mama gosokkan di punggung saya ketika saya flu berat dan susah bernapas .

Ma, akhir-akhir ini hidup jarang ingin bersahabat.
Banyak masalah hilang timbul dengan cepat, memaksa saya berlari hingga lelah. Dan saya ingin pulang.
Dan jika saya tertidur di meja dapur lagi nanti, kali ini saya janji, teh jahe itu akan saya habiskan terlebih dahulu.
Ma, saya kangen rumah.
Terlebih lagi, saya kangen mama...