Kamis, 15 Agustus 2013

Selapis Langit Ibu


Suatu kali seorang teman pernah berkata, diatas langit masih ada langit.
Katanya setinggi apapun kau terbang, kau tak kan bisa menyentuh langit.
Ya. Mungkin benar.

Saya, saat ini tidak tau ada berapa lapis langit itu.
Tidak tau ada berapa macam benda yang disebut orang langit.
Langit yang saya tau adalah hamparan biru yang tersebar tak kenal batas,
yang tak habis meskipun seperti hari ini, hujan luruh seharian.
Langit yang saya tau, adalah bentangan beludru hitam kelam dengan bintang jatuh sebagai hiasan paling mahal  yang pernah saya lihat ketika saya berkemah ditepi pantai singkawang yang dingin.
Langit yang seperti itu.

Sampai pada suatu waktu, ibu bilang, sayalah langitnya.

Anak ibu ada 4 orang. Saya yang nomor 2.
Yang paling mandiri adalah kakak tertua saya,
yang paling perhatian adik saya yang pertama,
yang paling cantik adik bungsu saya,
Saya, dibandingkan mereka, tidak ada apa-apanya tentu saja.

Saya mungkin adalah anak ibu yang paling apatis, cenderung autis.
Karena kata ibu, saya seperti memiliki dunia lain yang tak bisa ditembus olehnya.
Saya cenderung melakukan semuanya sendiri tanpa ibu, meskipun saya bukan orang yang mandiri.
Dan pada tahun ke 23 hidup saya, sayalah anak pertama yang meninggalkannya merantau ke kota antah berantah ini.
Meskipun begitu, saya ingat hari itu, minggu pertama bulan mei, malam pertama saya pulang dengan cuti pas-pasan.
Ketika saya duduk berdua dengannya di teras, dia bilang sayalah langitnya.
Bahwa meskipun saya begitu acuh dan memiliki dunia saya sendiri tanpanya, tapi ketika setiap malam dia masih bisa mendengar saya memanggilnya mama lewat saluran telepon yang putus sambung ala kadarnya, maka dunia baginya tetap utuh.

Malam ini, ketika saya terduduk sendirian menuliskan ini di meja makan kontrakan saya yang luar biasa sepi, saya meneleponnya.
Ibu saya, sedang sakit kepala.
Mengobrol sebentar telepon di tutup.
Dengan sebuah kalimat akhir yang sudah saya hapal mati di luar kepala ;
"jangan sering beli makan diluar, jangan makan indomi terus-terusan, kalau mau tidur ingat pintu dikunci rapat-rapat, jangan percaya dengan orang yang baru dikenal."
Begitu.
Seperti saya masihlah anaknya yang berumur 10 tahun yang digandengnya ke pasar sudirman untuk membeli kancing dan kain untuk menjahit.

14 tahun sudah berlalu sejak hari itu, ketika saya setia menemani ibu ke pasar untuk sekedar membeli soda kue atau kancing dan kain lem. Dan sadarlah saya bahwa saya saat ini setengah mati merindukan hari itu.
Dan sampailah saya pada suatu pengertian, yang meskipun tak pernah saya ungkapkan padanya, bahwa ibu juga adalah selapis langit saya.
Yang tanpanya saya tak pernah ada.







1 komentar:

rid mengatakan...

ah, Tha.. lama tak berkunjung
and this, this made my eyes teary :(