Selasa, 25 Agustus 2009

Tentang Sebuah Ayunan Tua



When I was small, and christmas trees were tall,
We used to love while others used to play.
Dont ask me why, but time has passed us by,

Some one else moved in from far away....



Kamu sangat suka bercerita, ketika matahari sudah tinggi dan awan-awan mulai berkumpul untuk mendengarkan kisahmu. Kisahmu tentang dia, dan cerita cinta ketika rumput-rumput dipadang masih hijau. Ketika harapan masih tinggi dan ketika sepasang tangan itu masih bergandengan erat di tepi kolam teratai, bermain ayunan sambil berbagi permen kapas. Dan janji yang terlalu muluk tentang pernikahan dan pangeran tampan.
Dulu...


The apple tree that grew for you and me,
I watched the apples falling one by one.

And I recall the moment of them all,
The day I kissed your cheek and you were mine..




Dan ketika rumput dipadang semakin tinggi, dan ayunan sudah terlalu tua untuk dimainkan, dia mengajakmu mengitari padang sunyi, menghitung domba dan memetik bunga matahari. Menjilati es krim yang meleleh di tangan, tertiup angin yang ringan melabai. Hingga akhirnya petang datang menjemput senja dan angin malam berlomba-lomba meniup gelap.
Berpisah dalam dekapan kecil dan ciuman lengket beraroma gulali di pipi.


When I was small, and christmas trees were tall,


Sepenggal kisah indah yang selalu dinanti, pertalian yang manis tanpa embel-embel curiga dan trik khas orang dewasa, hidup yang hanya untuk daun-daun pakis, gelembung sabun dan permen gulali. Kisah tentang ayunan tua dan kolam berbunga teratai. Kecemasan waktu itu hanyalah jika nanti senja datang dan harus menunggu esok untuk saling menggenggam tangan. sederhana dan putih. Terlalu putih bahkan.
Tapi sayangnya, yang selalu kamu katakan sambil tersenyum kecil "itu bukan cinta.........."
dan cerita itu harus berakhir di senja yang jingga, pada langit agustus yang hangat.


Dont ask me why, but time has passed us by.....



itu bukan cinta.....




Song : First of May by Susan Wong.




Senin, 24 Agustus 2009

Seharusnya Hujan Tak Datang



Apalah artinya aku bagimu? hanya sebaris nama di kolom yang tak terbaca, dikertas yang tertempel entah di mana, di daftar yang terlupakan.

-enno-


Pagi ini ketika aku membuka mata, kutemukan awan gelap menggelayut di sudut-sudut langit. Cemberut dan memberengut.
"Ah, akan hujan" pikirku.
Dan ketika membuka jendela, kulihat angin bertiup cepat-cepat, berlari bergegas-gegas membawa kabar kepada alam, bahwa lagi-lagi peri hujan akan datang membawa pesan dari langit, tentang rindunya pada bumi.


Aku bersenandung kecil, menghirup coklat panas dan mengigit setangkup roti dibalik jendela yang terbuka lebar, mencoba menghibur embun pagi yang lagi-lagi merasa terlalu cemburu kepada hujan.

"Aku tak terlihat. Aku hanyalah kabut tipis, jatuh pada kelopak bunga, batu-batu dingin, rumput yang layu, pagar-pagar reyot dan batu-batu nisan pekuburan. Tak seperti hujan yang dapat membuat manusia terhenti ketika ia tiba." Keluhnya panjang lebar

"Well, setidaknya kau datang menyapa setiap pagi. Dan hujan ? dia tak terlalu sering datang. Hanya kadang kala, jika langit tidak terlalu sibuk memintal awan dan sungai belum meluap terlalu tinggi." Jawabku

"Tahukah kau, bulan ini seharusnya hujan tidak turun…."


Ah..
bagaimana harus mengatakannya? mengatakan bahwa alam pernah membisikkan kepadaku, tentang cintanya kepada langit dan ribuan benang perak yang dikirimkannya sebagai lagu cinta.

Aku diam.

Embun diam.

Pagi hening.




....... dan hujanpun luruh.



Rabu, 19 Agustus 2009

A Thing To Learn



i've learned that people will forget what you said
people will forget what you did

but people,
will never forget how you make them feel ...


-maya angelou-






Selasa, 18 Agustus 2009

Happy 17th of August




Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.



Jakarta, 17 Agustus 1945

Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno - Hatta




Kamis, 13 Agustus 2009

Hey...

Apakah kamu masih disana menemaniku?
Lalu...
Mengapa aku merasa sendirian hari ini?

Rabu, 05 Agustus 2009

"Kamu, sudah makan belum?"

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang yang menyodorkan pertanyaan ini kepada saya :
"Tha kog nulisnya tentang mama mulu, emang papanya kemana?"


Ayah, Bapak, Daddy, Abah, atau apapun kalian menyebutnya. Saya memanggilnya papa. Dan jarang sekali mengucapkannya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena jarang sekali memiliki kesempatan melafalkan kata itu untuknya.
Dia jarang mengangkat telepon, apalagi menelepon. Sangat jarang saya kunjungi, karena mengunjunginya harus membuat janji dari jauh-jauh hari, itu pun jika saya beruntung dia tidak membatalkannya pada hari H, karena ada pertemuan dengan rekanan bisnisnya yang beruntung itu jelir.
Papa yang saya kenal [bahkan saya sendiri ragu apakah saya mengenalnya], tidak pernah memandang mata saya ketika berbicara. Bukan karena perceraiannya dengan mama yang membuat jarak kami menjadi renggang, tapi ayahku itu memang sosok yang dingin dan sedikit cuek terhadap sekitarnya kalo tidak mau dibilang angkuh.
Dan ketika bertemu anaknya yang mewarisi sikapnya yang "berharga-diri-tinggi" dan berkepala batu ini, maka dia akan siap dengan muka datar tanpa ekspresi (yang saya sering tirukan dengan baik jika saya sedang marah) dan kedinginan yang semakin berlipat-lipat ganda. Seperti gunung es yang tidak terjamah.

Percakapan yang bisa saya ingat dengannya sejauh ini adalah membahas tentang pembagian dividen perusahaannya, kapalnya, tongkang yang berniat di belinya, dan L/C yang bermasalah. Tidak ada yang penting (setidaknya menurut saya begitu).
Papa tidak pernah mengingat hari ulang tahun saya. Tidak pernah bertanya kabar saya, apakah saya bahagia atau tidak hidup tanpanya. Tidak pernah menemani saya mengambil amplop kelulusan. Tidak mengantarkan saya masuk kantor untuk yang pertama kalinya. Tidak sekalipun menelpon hanya untuk bertanya apa kabar selama 8 tahun belakangan. Bahkan tidak memberi kabar ketika mereka pindah rumah.

Well, terlepas dari semua itu, terlepas dari setiap pertengkaran dan saling lempar sindiran, satu hal yang saya ingat tentangnya adalah sebuah pertanyaannya yang begitu saya tunggu : "kamu, sudah makan belum?"
Ketika saya menginap dirumahnya, saat sudah terlalu larut dari kampus. Begitu pintu pagar dibuka, maka dia akan keluar dari kamar kerjanya, turun kebawah, melihat saya (dengan minus ekspresi tentu saja) dan bertanya "kamu, sudah makan belum?"
dan betapapun saya sudah kenyang dan terlalu malas makan selarut itu, saya akan tetap menjawab belum.
Karena saya tahu, ketika saya menjawab belum, maka dia akan menggotong tas kerjanya ke meja makan, menemani saya makan dalam diam sambil mencoret, menstabilo, dan menandatangani kertas-kertas sialan itu.
Satu perhatian kecilnya yang membuat pertengkaran dan kekecewaan menjadi tidak berarti.
Saya merindukannya akhir-akhir ini, tapi tetap saja tuan sok sibuk itu tidak mengangkat telepon saya.
Hmm...mungkin saya akan kerumahnya malam ini, dan jika beruntung mungkin saya bisa mendengarnya bertanya lagi "kamu, sudah makan belum?"

Senin, 03 Agustus 2009

Saya Ingin Menikah.

Ya benar saya.
Akhir-akhir ini membayangkan terbangun di samping seseorang yang mencintai saya.
Membayangkan mempunyai seorang anak berambut ikal untuk di antar ke sekolah.
Membayangkan memiliki hidup saya sendiri.
Sungguh membuat saya bahagia.

Oh ya...umur saya dua puluh.
Dan saya juga setuju dengan pemikiranmu "mungkin anak ini sudah gila"
Tapi tetap saja membayangkan kegilaan ini terasa menyenangkan senyum

Saya ingin menikah.