Selasa, 27 Agustus 2013

Sepotong kata maaf


Maaf...
untuk sebuah tangan yang terlepas.
Maaf...
untuk genggaman yang kini enggan berbagi hangat.
Maaf...
untuk jari-jari yang sekarang tak lagi ingin terkait.
Maaf...
untuk hanya sepotong kata maaf yang saya tau tak akan menghilang beban.
Maaf...
karena suatu kali saya pernah berkata, benar saya cinta. Sehingga menggoreskan banyak luka.

Ketapang, 27 Agustus 2013...

dituliskan untuk kamu,
yang pada satu waktu, pernah menjadi seluruh duniaku.




Senin, 19 Agustus 2013

Ferita


Jika katanya hidup ini adalah sebuah roda, maka mungkin saya sedang tersangkut ditengah-tengah porosnya saat ini.
Tidak naik, tidak turun.
Hanya berputar di tempat yang disitu-situ saja.
Dipusingkan oleh hal yang begitu-begitu saja.
Kuatir karena orang yang itu-itu saja.
Stuck. Kata orang jawa.

Rasanya seperti ingin sembunyi di dalam lemari,
Dan keluar ketika permasalahan sudah selesai.
Lalu kemudian saya di cap sebagai orang yang kurang dewasa.
Lari dari masalah.

Saya cuma ingin merasa bebas. Tidak lagi ingin terikat.
Karena disini udara hampir habis. Sesak.
Karena jika saya tetap tinggal, saya tau saya akan mati.
Lalu saya dibilang tidak bertanggung jawab.
Karena perasaan bukan mainan.
Yang dimainkan jika suka. Yang ditinggal bila bosan.
Tercampak di sudut ruangan.
Kemudian menjadi penghuni tetap gudang.
 

Katanya dadu sudah di lempar.
Angkanya sudah keluar.
Maka bidaknya harus saya jalankan. Meskipun saya tidak suka.
Karena dulu saya yang meminta bergabung.
Lalu kenapa sekarang saya berkabung? tanyaku.
Ah ya, karena saya harus tetap tinggal. Meskipun mati.
Kalian puas?
Ya.

Sejak kapan saya tidak mempunyai pilihan?
Tersesat dalam dunia yang bahkan tidak saya kenal.
Terikat dengan rantai komitment dan janji yang dulu saya belitkan sendiri karena obsesi.
Sekarang kau menyesal? tanyamu.
Tidak.
Hanya tidak bahagia.
Apakah bahkan itu lebih parah?
Tidak ada rasa.
Tidak menyesal.
Tidak juga bahagia.

Jadi bagaimana kita harus menjalaninya.
Karena dulu kita yang memulai.
Meskipun sekarang saya yang ingin pergi.
Kau memilih tetap tinggal?
Lalu apakah saya harus ikut tinggal?
Seperti orang mati yang tanpa rasa.
Tinggal hanya karena sebuah logika.
Tinggal hanya karena kau yang minta.


Kau sakit?
Aku sakit.
Hampir mati disini.
Bisakah kita tinggalkan saja?
Bolehkan?

 









Untuk sebuah kata maaf yang mungkin sangat terlambat,


Sabtu, 17 Agustus 2013

Red

.....

Karena kemerdekaan itu,
adalah hak semua bangsa

....




Happy independence day good people :)

Kamis, 15 Agustus 2013

Selapis Langit Ibu


Suatu kali seorang teman pernah berkata, diatas langit masih ada langit.
Katanya setinggi apapun kau terbang, kau tak kan bisa menyentuh langit.
Ya. Mungkin benar.

Saya, saat ini tidak tau ada berapa lapis langit itu.
Tidak tau ada berapa macam benda yang disebut orang langit.
Langit yang saya tau adalah hamparan biru yang tersebar tak kenal batas,
yang tak habis meskipun seperti hari ini, hujan luruh seharian.
Langit yang saya tau, adalah bentangan beludru hitam kelam dengan bintang jatuh sebagai hiasan paling mahal  yang pernah saya lihat ketika saya berkemah ditepi pantai singkawang yang dingin.
Langit yang seperti itu.

Sampai pada suatu waktu, ibu bilang, sayalah langitnya.

Anak ibu ada 4 orang. Saya yang nomor 2.
Yang paling mandiri adalah kakak tertua saya,
yang paling perhatian adik saya yang pertama,
yang paling cantik adik bungsu saya,
Saya, dibandingkan mereka, tidak ada apa-apanya tentu saja.

Saya mungkin adalah anak ibu yang paling apatis, cenderung autis.
Karena kata ibu, saya seperti memiliki dunia lain yang tak bisa ditembus olehnya.
Saya cenderung melakukan semuanya sendiri tanpa ibu, meskipun saya bukan orang yang mandiri.
Dan pada tahun ke 23 hidup saya, sayalah anak pertama yang meninggalkannya merantau ke kota antah berantah ini.
Meskipun begitu, saya ingat hari itu, minggu pertama bulan mei, malam pertama saya pulang dengan cuti pas-pasan.
Ketika saya duduk berdua dengannya di teras, dia bilang sayalah langitnya.
Bahwa meskipun saya begitu acuh dan memiliki dunia saya sendiri tanpanya, tapi ketika setiap malam dia masih bisa mendengar saya memanggilnya mama lewat saluran telepon yang putus sambung ala kadarnya, maka dunia baginya tetap utuh.

Malam ini, ketika saya terduduk sendirian menuliskan ini di meja makan kontrakan saya yang luar biasa sepi, saya meneleponnya.
Ibu saya, sedang sakit kepala.
Mengobrol sebentar telepon di tutup.
Dengan sebuah kalimat akhir yang sudah saya hapal mati di luar kepala ;
"jangan sering beli makan diluar, jangan makan indomi terus-terusan, kalau mau tidur ingat pintu dikunci rapat-rapat, jangan percaya dengan orang yang baru dikenal."
Begitu.
Seperti saya masihlah anaknya yang berumur 10 tahun yang digandengnya ke pasar sudirman untuk membeli kancing dan kain untuk menjahit.

14 tahun sudah berlalu sejak hari itu, ketika saya setia menemani ibu ke pasar untuk sekedar membeli soda kue atau kancing dan kain lem. Dan sadarlah saya bahwa saya saat ini setengah mati merindukan hari itu.
Dan sampailah saya pada suatu pengertian, yang meskipun tak pernah saya ungkapkan padanya, bahwa ibu juga adalah selapis langit saya.
Yang tanpanya saya tak pernah ada.