Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 November 2014

Kepada Tiara.



Tiara,
Mengapa seolah-olah hidup tidak pernah berpihak pada kita?
Bahkan hujan yang kuharapkan turun senja ini tak kunjung datang, hanya tinggal menyapa awan yang menggelar mendung menutup jingga.
Demi apa?
Aku tau terkadang kau merindukannya Tiara, sama seperti aku.
Tapi hidup mungkin tak menggariskan namamu dan namanya pada satu bait yang sama.
Mungkin memang bukan tulang rusuknya yang dipakai untuk memahat setiap inci pori dirimu.

Tiara,
Bukankah kita bahagia?
Karena akhirnya pada satu titik kita menemukan orang yang mencintai kita sampai jungkir balik?
Lalu mengapa masih kau simpan rapat-rapat air mata itu disudut-sudut kampung Lodtunduh?
Ku lihat masih kau simpan lekat-lekat suaran petikan gitar dibalik dinding rumah bambu itu.
Atas dasar apa?
Ah, ya. Aku terlupa
Atas nama cinta, yang dari dulu punya sebuah nama : Ben.





Senin, 04 November 2013

Something about blue







He likes blue sky,
His sky was me
Then someday i realize, that i'm not his sky anymore
And i'm feeling so blue at the moment
.....


Suddenly remember this quote from Christian Simamora.
One of my favorite book. Lost it when i moved to our new house five years ago.
*Sigh*


Selasa, 22 Oktober 2013

Merah



Menuliskan tentang dia adalah seperti menuliskan merah di ufuk senja.
Kabur tertutup jingga.
Aku mengenalnya beberapa lama.
Perempuan yang berdiri dibalik tirai jendela itu.
Perempuan dengan wajah tirus dan hati yang keras.
Yang dulu, selalu berdiri paling depan dan berteriak paling lantang.
Dan dari dulu saya adalah pengamat setianya.
Penonton yang mengamati, lalu menuliskannya.
Tentang dia.
Tentang merah.
Dulu perempuan itu seperti merah.
Menyala dan berani.

Rupanya sekarang merah itu memudar menjadi jingga.
Seperti senja
Tertutup tirai di balik jendela.
Lama saya berdiri di sudut jalan.
Menatap perempuan itu, mengharap dia menyibak tirai jendela.
Tapi dia bergeming.
Hanya merenung dan menatap jauh.
Kepada senja.
Kepada merah.
Yang kabur tertutup jingga.



Rabu, 03 Juli 2013

Di Ruang Tunggu Bandara




Not all the people in your life are meant to stay
-unknown-


Hujan turun deras sore ini. Percikannya menempias di tembok-tembok kaca. Membuatnya berkabut. Orang-orang berlalu lalang. Tak peduli satu sama lain, sibuk dengan dunianya sendiri.
Satu yang disudut kursi paling depan sedang mendengarkan lagu di ipodnya dengan mata tertutup.
Satu yang duduk di deretan kelima kursi sayap kiri sedang menyuap roti, mengganjal perut yang tidak mau diajak kompromi dengan jadwal penerbangan yang delay gila-gilaan.
Ruangan ini kelewat dingin. Dalam hati aku merutuki siapapun yang mengatur suhu ruangan ini menjadi begitu rendah. Jari-jariku mati rasa.
Aku benci hujan. Benci rintiknya yang berpacu dengan detak jarum arlojiku yang menambah gelisah. Aku benci menunggu. Apalagi menunggu ketika hujan mulai turun.

Aku selalu membenci ruang tunggu bandara. Seperti tiba-tiba kita terpisah, oleh sebuah tembok kaca. Dan kau sekonyong-konyong berdiri dalam dua dimensi yang berbeda. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Yang pergi dan yang menunggu. Seminggu, sebulan, sehari, setahun.

Sepuluh tahun yang lalu, di ruang tunggu bandara ini, kamu menggenggam tanganku. Erat. Seperti tidak mau lepas. Waktu itu aku yakin, dengan polos dan naifnya, bahwa kamu akan pulang. Suatu hari, entah pada hari apa.
Siang itu, pun hari hujan. Ingat kamu Ben?
Dan untuk pertama kalinya, saya bersyukur hujan turun. Bahwa diam-diam saya berdoa, jika hujan bisa membuatmu tinggal, maka hujanlah. Seminggu, setahun, bahkan sepuluh tahun pun jadilah.
Udara dingin yang dibawa hujan hari itu menambah sesak. Mati-matian kutahan air mata yang hampir jatuh. Aku ngga boleh nangis.
Karena Tiara adalah anak yang tegar dimata Ben. Karena Tiara tidak pernah menangis seperti anak perempuan cengeng lainnya.

"Ngga bisa ya Ben kalo kamu ngga pergi?" kataku lirih
"Ara, aku pasti pulang kok. Nanti kalau sudah lulus jadi dokter, kamu aku jemput ya?" Janjimu waktu itu. "Kamu kan tau, Ben ngga akan pernah bohong sama Ara". Tambahmu, mencoba menggombal dan gagal.
Aku diam.
Dan kemudian hujan reda.
Kali itu Ben, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika tanganku kau lepas, dan perlahan kau berjalan pergi, keluar dari tembok kaca, seperti menuju sebuah dimensi yang lain, yang tak dapat kutembus.

Hari ini Ben, kembali kita berdua duduk di ruang tunggu bandara.
Keadaan berbalik. Kali ini saya yang pergi. Menyusul dia yang berpindah ke kota lain, sebuah kesepakatan yang kusetujui beberapa bulan lalu, sebelum kami menikah.
Kau bersikeras mengantarku dan jadilah kita berdua, seperti deja vu, duduk di kursi plastik ruangan luas dan berpendingin tak kenal ampun ini. Menjadi dua pesakitan gagu. Yang meninggalkan, yang ditinggalkan. Namun kali ini dengan peran yang berbeda, masih pada sebuah rasa yang sama.
Sesak dan dingin.
Dan kemudian, hujan reda.
"Kamu benar harus pergi Ara?" Tanyamu lirih. Tanganku kau genggam erat.
Saya mencoba tersenyum dan gagal.
"Maaf Ben, kali ini, saya ngga bisa janji kalo saya bakalan pulang".

Dan sekali lagi, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika aku berjalan melewati tembok kaca.
Hari ini aku sadar Ben, bahwa kitalah yang terlalu polos kala itu. Bahwa kita terlalu naif memandang hidup, seperti dunia hanya cukup diisi dengan janji dan cinta.
Hari ini aku sadar, bahwa sebenarnya aku tak usah menunggu begitu lama untuk sebuah janji. Karena ketika pesawat udara itu membawamu pergi menembus awan, mungkin saja janji itu sudah luruh menjadi hujan. Dan seperti waktu, kamu dan aku pun akhirnya akan berlalu.

Benanda ngga akan pernah bohong sama Tiara.
Yes Ben, i agreed.
Tapi tolong ditambahkan, bahwa janji itu, mungkin saja datang ketika waktu sudah sangat terlambat.






Senin, 10 Juni 2013

Maret





Ben, tahun ini sepertinya maret datang terlambat.

Rupanya, batang-batang jagung itu tumbuh belum terlalu tinggi ketika saya datang.Dan pula, tanah masih belum begitu kering. Disinilah kita bermain dulu menangkap capung dan mengejar angin.
Siapa yang sangka, hari ini saya bisa begitu merindukan hari itu.
Merindukan kamu yang selalu memarahi saya yang datang terlambat, padahal katamu, kau sudah berteriak memanggil namaku berulang kali dari atas pohon jambu di depan rumahku.
"Anak perempuan memang begitu sih, lelet. Suka terlambat". Rajukmu selalu.

Dulu, kamu pintar sekali membuatkan mahkota dari lilitan ilalang di tepi jalan. Katamu itu adalah tiara. Dan kalau kita menikah nanti, tiara itu akan kamu gantikan yang asli. Kataku aku mau yang terbuat dari giok dan batu zamrud.
"Yang besaaaaar ya Ben" pintaku.
"Ya, nanti aku belikan yang besar".
Ben, sadarkah kamu dulu kita belum lagi genap sebelas tahun? Betapa polos dan naifnya kita.

Ben, siapa yang sangka, hari ini kita kembali berdiri berhadapan.
Kamu dengan kemeja dan jas rapi. Saya, dengan gaun kembang putih dan tiara. Kali ini tiara sungguhan Ben, meskipun bukan terbuat dari giok dan batu zamrud besar. Sebuah buket mawar putih di tangan, bukan lagi ilalang.
Kamu dan aku berdiri berhadapan, pada sisi yang berseberangan, dengan hati jumpalitan.
Dan demi sepotong masa lalu yang kembali membias, saya tersenyum.

"Siapa yang sangka kamu menikah duluan. Dulu katanya kamu mau tunggu aku?" Kelakarmu.
Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum. Lidahku tiba-tiba terasa kelu.
Dulu saya memang menunggu Ben. Cukup lama. Karena katamu kau pasti pulang, ketika ayahmu dipindahkan ke kota lain dan kalian ikut-ikutan diboyong pergi.
Lalu kemudian keadaan berubah Ben, kita menjadi dewasa. Dan janjimu, kemudian hanya bisa saya simpan rapat-rapat di sudut-sudut kotak pandora saya.

"Selamat ya. Yang bahagia, hidup bahagia sampai tua. Kawan masa kecilku yang cantik" katamu. Kemudian kau jabat tanganku. Lama.

Ya. Hidup yang bahagia juga ya Ben, sampai tua. Seperti janji kita dulu.
Sayangnya kali ini, adalah hidup yang akan kita jalani sendiri-sendiri.
Bukan lagi hidup kita.
Tapi hidup saya.
Hidup kamu.

Maaf Ben,
Untuk janji yang terlewati.
Karena mungkin kali ini, waktu sudah mulai menua,
Dan janji itu sudah habis umurnya.
Atau mungkin kali ini, kamulah yang datang terlambat.