Rabu, 03 Juli 2013

Di Ruang Tunggu Bandara




Not all the people in your life are meant to stay
-unknown-


Hujan turun deras sore ini. Percikannya menempias di tembok-tembok kaca. Membuatnya berkabut. Orang-orang berlalu lalang. Tak peduli satu sama lain, sibuk dengan dunianya sendiri.
Satu yang disudut kursi paling depan sedang mendengarkan lagu di ipodnya dengan mata tertutup.
Satu yang duduk di deretan kelima kursi sayap kiri sedang menyuap roti, mengganjal perut yang tidak mau diajak kompromi dengan jadwal penerbangan yang delay gila-gilaan.
Ruangan ini kelewat dingin. Dalam hati aku merutuki siapapun yang mengatur suhu ruangan ini menjadi begitu rendah. Jari-jariku mati rasa.
Aku benci hujan. Benci rintiknya yang berpacu dengan detak jarum arlojiku yang menambah gelisah. Aku benci menunggu. Apalagi menunggu ketika hujan mulai turun.

Aku selalu membenci ruang tunggu bandara. Seperti tiba-tiba kita terpisah, oleh sebuah tembok kaca. Dan kau sekonyong-konyong berdiri dalam dua dimensi yang berbeda. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Yang pergi dan yang menunggu. Seminggu, sebulan, sehari, setahun.

Sepuluh tahun yang lalu, di ruang tunggu bandara ini, kamu menggenggam tanganku. Erat. Seperti tidak mau lepas. Waktu itu aku yakin, dengan polos dan naifnya, bahwa kamu akan pulang. Suatu hari, entah pada hari apa.
Siang itu, pun hari hujan. Ingat kamu Ben?
Dan untuk pertama kalinya, saya bersyukur hujan turun. Bahwa diam-diam saya berdoa, jika hujan bisa membuatmu tinggal, maka hujanlah. Seminggu, setahun, bahkan sepuluh tahun pun jadilah.
Udara dingin yang dibawa hujan hari itu menambah sesak. Mati-matian kutahan air mata yang hampir jatuh. Aku ngga boleh nangis.
Karena Tiara adalah anak yang tegar dimata Ben. Karena Tiara tidak pernah menangis seperti anak perempuan cengeng lainnya.

"Ngga bisa ya Ben kalo kamu ngga pergi?" kataku lirih
"Ara, aku pasti pulang kok. Nanti kalau sudah lulus jadi dokter, kamu aku jemput ya?" Janjimu waktu itu. "Kamu kan tau, Ben ngga akan pernah bohong sama Ara". Tambahmu, mencoba menggombal dan gagal.
Aku diam.
Dan kemudian hujan reda.
Kali itu Ben, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika tanganku kau lepas, dan perlahan kau berjalan pergi, keluar dari tembok kaca, seperti menuju sebuah dimensi yang lain, yang tak dapat kutembus.

Hari ini Ben, kembali kita berdua duduk di ruang tunggu bandara.
Keadaan berbalik. Kali ini saya yang pergi. Menyusul dia yang berpindah ke kota lain, sebuah kesepakatan yang kusetujui beberapa bulan lalu, sebelum kami menikah.
Kau bersikeras mengantarku dan jadilah kita berdua, seperti deja vu, duduk di kursi plastik ruangan luas dan berpendingin tak kenal ampun ini. Menjadi dua pesakitan gagu. Yang meninggalkan, yang ditinggalkan. Namun kali ini dengan peran yang berbeda, masih pada sebuah rasa yang sama.
Sesak dan dingin.
Dan kemudian, hujan reda.
"Kamu benar harus pergi Ara?" Tanyamu lirih. Tanganku kau genggam erat.
Saya mencoba tersenyum dan gagal.
"Maaf Ben, kali ini, saya ngga bisa janji kalo saya bakalan pulang".

Dan sekali lagi, kubiarkan air mata itu lolos. Ketika aku berjalan melewati tembok kaca.
Hari ini aku sadar Ben, bahwa kitalah yang terlalu polos kala itu. Bahwa kita terlalu naif memandang hidup, seperti dunia hanya cukup diisi dengan janji dan cinta.
Hari ini aku sadar, bahwa sebenarnya aku tak usah menunggu begitu lama untuk sebuah janji. Karena ketika pesawat udara itu membawamu pergi menembus awan, mungkin saja janji itu sudah luruh menjadi hujan. Dan seperti waktu, kamu dan aku pun akhirnya akan berlalu.

Benanda ngga akan pernah bohong sama Tiara.
Yes Ben, i agreed.
Tapi tolong ditambahkan, bahwa janji itu, mungkin saja datang ketika waktu sudah sangat terlambat.






Senin, 10 Juni 2013

Maret





Ben, tahun ini sepertinya maret datang terlambat.

Rupanya, batang-batang jagung itu tumbuh belum terlalu tinggi ketika saya datang.Dan pula, tanah masih belum begitu kering. Disinilah kita bermain dulu menangkap capung dan mengejar angin.
Siapa yang sangka, hari ini saya bisa begitu merindukan hari itu.
Merindukan kamu yang selalu memarahi saya yang datang terlambat, padahal katamu, kau sudah berteriak memanggil namaku berulang kali dari atas pohon jambu di depan rumahku.
"Anak perempuan memang begitu sih, lelet. Suka terlambat". Rajukmu selalu.

Dulu, kamu pintar sekali membuatkan mahkota dari lilitan ilalang di tepi jalan. Katamu itu adalah tiara. Dan kalau kita menikah nanti, tiara itu akan kamu gantikan yang asli. Kataku aku mau yang terbuat dari giok dan batu zamrud.
"Yang besaaaaar ya Ben" pintaku.
"Ya, nanti aku belikan yang besar".
Ben, sadarkah kamu dulu kita belum lagi genap sebelas tahun? Betapa polos dan naifnya kita.

Ben, siapa yang sangka, hari ini kita kembali berdiri berhadapan.
Kamu dengan kemeja dan jas rapi. Saya, dengan gaun kembang putih dan tiara. Kali ini tiara sungguhan Ben, meskipun bukan terbuat dari giok dan batu zamrud besar. Sebuah buket mawar putih di tangan, bukan lagi ilalang.
Kamu dan aku berdiri berhadapan, pada sisi yang berseberangan, dengan hati jumpalitan.
Dan demi sepotong masa lalu yang kembali membias, saya tersenyum.

"Siapa yang sangka kamu menikah duluan. Dulu katanya kamu mau tunggu aku?" Kelakarmu.
Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum. Lidahku tiba-tiba terasa kelu.
Dulu saya memang menunggu Ben. Cukup lama. Karena katamu kau pasti pulang, ketika ayahmu dipindahkan ke kota lain dan kalian ikut-ikutan diboyong pergi.
Lalu kemudian keadaan berubah Ben, kita menjadi dewasa. Dan janjimu, kemudian hanya bisa saya simpan rapat-rapat di sudut-sudut kotak pandora saya.

"Selamat ya. Yang bahagia, hidup bahagia sampai tua. Kawan masa kecilku yang cantik" katamu. Kemudian kau jabat tanganku. Lama.

Ya. Hidup yang bahagia juga ya Ben, sampai tua. Seperti janji kita dulu.
Sayangnya kali ini, adalah hidup yang akan kita jalani sendiri-sendiri.
Bukan lagi hidup kita.
Tapi hidup saya.
Hidup kamu.

Maaf Ben,
Untuk janji yang terlewati.
Karena mungkin kali ini, waktu sudah mulai menua,
Dan janji itu sudah habis umurnya.
Atau mungkin kali ini, kamulah yang datang terlambat.




Minggu, 19 Mei 2013

Those Old Days

 


 When was the las time you thought of me?
Adele - Don't you remember

 ****

Waktu itu, beberapa tahun yang lalu, tidak-tidak.. beberapa belas tahun yang lalu, kita tidak seperti sekarang. Iya kan? kamu ingat?

Saya tau, setelah kamu membaca tulisan ini, kamu kemudian akan mengomeli saya panjang lebar, bahwa saya tidak hidup dalam realita, bahwa saya cengeng dan tidak kuat, bahwa saya mulai melupakan ajaran kamu, bahwa saya harus berdiri tegak-tegak. Tapi, sehari ini saja, dalam beberapa menit ini saja, ijinkan saya mengingatnya. Boleh kan?

Waktu itu, kita semua tinggal bersama, kamu dan saya, bukannya berlainan kota seperti sekarang.
Waktu itu kita punya gaun kembar kembang-kembang, punyamu biru, saya merah. Ingatkan? Gaun yang selalu tidak mau kau pakai, katamu brokat dan rendanya bikin gatal, tapi saya suka, seperti princess kata saya. Kamu tidak suka princess, karena katamu kau pendekar wanita.
Waktu itu jika kamu sakit, maka saya akan menangis sampai demam, sampai saya ikut-ikutan sakit, bukan karena mengkhawatirkan kamu, tapi karena saya tidak punya teman bermain. Dan jika kita sudah sakit, maka dia akan pulang lebih awal, iya kan?
Lalu dia mulai sibuk di dapur, memasakkan kita bubur, membangunkan kita malam-malam untuk minum obat, mengganti kompres.
Dulu dia tidak pernah lupa jadwal sekolah kita, pe-er yang tertunda. Dulu dia bisa apa saja. Membuat kandang marmut, mengambil bola bulutangkis yang tersangkut di atap, dan main harmonika. Dulu dia bisa memenuhi apapun permintaan kita.
Dulu dialah superheronya, dan dulu dia sayang kita, iya kan?...akui sajalah.

Waktu itu tidak ada yang saya takutkan, karena saya punya kamu, dan kita punya dia. Tapi sekarang saya takut. Terlalu banyak hal yang saya takutkan, sepertinya saya meniti jalan sendirian, dan sedikit sekali pegangan.
Sekarang kita tidak punya dia, dan kamu terlalu jauh untuk saya temui kapan saja.
Nie, hari ini bolehkan kalau saya bilang saya kangen papa?
Kamu juga kan?
........
Akui sajalah...