Kamis, 13 Agustus 2009

Hey...

Apakah kamu masih disana menemaniku?
Lalu...
Mengapa aku merasa sendirian hari ini?

Rabu, 05 Agustus 2009

"Kamu, sudah makan belum?"

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang yang menyodorkan pertanyaan ini kepada saya :
"Tha kog nulisnya tentang mama mulu, emang papanya kemana?"


Ayah, Bapak, Daddy, Abah, atau apapun kalian menyebutnya. Saya memanggilnya papa. Dan jarang sekali mengucapkannya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena jarang sekali memiliki kesempatan melafalkan kata itu untuknya.
Dia jarang mengangkat telepon, apalagi menelepon. Sangat jarang saya kunjungi, karena mengunjunginya harus membuat janji dari jauh-jauh hari, itu pun jika saya beruntung dia tidak membatalkannya pada hari H, karena ada pertemuan dengan rekanan bisnisnya yang beruntung itu jelir.
Papa yang saya kenal [bahkan saya sendiri ragu apakah saya mengenalnya], tidak pernah memandang mata saya ketika berbicara. Bukan karena perceraiannya dengan mama yang membuat jarak kami menjadi renggang, tapi ayahku itu memang sosok yang dingin dan sedikit cuek terhadap sekitarnya kalo tidak mau dibilang angkuh.
Dan ketika bertemu anaknya yang mewarisi sikapnya yang "berharga-diri-tinggi" dan berkepala batu ini, maka dia akan siap dengan muka datar tanpa ekspresi (yang saya sering tirukan dengan baik jika saya sedang marah) dan kedinginan yang semakin berlipat-lipat ganda. Seperti gunung es yang tidak terjamah.

Percakapan yang bisa saya ingat dengannya sejauh ini adalah membahas tentang pembagian dividen perusahaannya, kapalnya, tongkang yang berniat di belinya, dan L/C yang bermasalah. Tidak ada yang penting (setidaknya menurut saya begitu).
Papa tidak pernah mengingat hari ulang tahun saya. Tidak pernah bertanya kabar saya, apakah saya bahagia atau tidak hidup tanpanya. Tidak pernah menemani saya mengambil amplop kelulusan. Tidak mengantarkan saya masuk kantor untuk yang pertama kalinya. Tidak sekalipun menelpon hanya untuk bertanya apa kabar selama 8 tahun belakangan. Bahkan tidak memberi kabar ketika mereka pindah rumah.

Well, terlepas dari semua itu, terlepas dari setiap pertengkaran dan saling lempar sindiran, satu hal yang saya ingat tentangnya adalah sebuah pertanyaannya yang begitu saya tunggu : "kamu, sudah makan belum?"
Ketika saya menginap dirumahnya, saat sudah terlalu larut dari kampus. Begitu pintu pagar dibuka, maka dia akan keluar dari kamar kerjanya, turun kebawah, melihat saya (dengan minus ekspresi tentu saja) dan bertanya "kamu, sudah makan belum?"
dan betapapun saya sudah kenyang dan terlalu malas makan selarut itu, saya akan tetap menjawab belum.
Karena saya tahu, ketika saya menjawab belum, maka dia akan menggotong tas kerjanya ke meja makan, menemani saya makan dalam diam sambil mencoret, menstabilo, dan menandatangani kertas-kertas sialan itu.
Satu perhatian kecilnya yang membuat pertengkaran dan kekecewaan menjadi tidak berarti.
Saya merindukannya akhir-akhir ini, tapi tetap saja tuan sok sibuk itu tidak mengangkat telepon saya.
Hmm...mungkin saya akan kerumahnya malam ini, dan jika beruntung mungkin saya bisa mendengarnya bertanya lagi "kamu, sudah makan belum?"

Senin, 03 Agustus 2009

Saya Ingin Menikah.

Ya benar saya.
Akhir-akhir ini membayangkan terbangun di samping seseorang yang mencintai saya.
Membayangkan mempunyai seorang anak berambut ikal untuk di antar ke sekolah.
Membayangkan memiliki hidup saya sendiri.
Sungguh membuat saya bahagia.

Oh ya...umur saya dua puluh.
Dan saya juga setuju dengan pemikiranmu "mungkin anak ini sudah gila"
Tapi tetap saja membayangkan kegilaan ini terasa menyenangkan senyum

Saya ingin menikah.